Monday, August 6, 2007

Cerpen Buku Tarian Kata

'tarian kata'

sasindo '05












Sasindo ’05 berterima kasih kepada:


Allah Yang Maha Pemurah,

tanpa-Mu kami hanya sebatang pena tanpa makna.


Ayah Ibu tercinta beserta segenap keluarga,

tanpa kalian kami hanya makhluk tanpa daya.


Bapak Imam Suhardi yang terhormat,

tanpa Anda kami tiada mengerti apa-apa.


Kakak dan Adik angkatan,

tanpa kalian dunia takan berwarna.


Segenap dosen, karyawan dan staf,

atas bantuan dan pengertiannya.


Seluruh teman, sahabat, kawan,

atas pengorbanan dan kesetiaanya.


Kepada yang tak tersebut,

terima kasih telah mengambil bagian dalam kerjasama yang manis ini.

Tarian Kata

Didedikasikan dengan penuh cinta kepada

Dunia Sastra Indonesia

dan segala yang ada didalamnya.






















PENGANTAR



Mengarang itu gampang !.Itu jargon yang sering beredar di kalangan penulis, baik baik sastra maupun nonsastra. Kalimat tersebut bukan sekedar ajakan, tapi juga menuangkan fakta bahwa sebenarnya menulis sebuah karangan adalah mudah jika didasari niat dan kemampuan untuk itu.

Didasari niat dan kesadaran akan kemampuan diri, yang pada hakikatnya dimilliki oleh setiap orang itulah, yang membulatkan tekad kami, SASINDO ’05 UNSOED untuk menerbitkan buku kumpulan cerpen, esai, dan puisi ini.

Buku ini kami beri judul “Tarian Kata” yang terinspirasi dari perkataan seorang dosen “Sastra adalah berjalan dengan tarian.....”.

Dengan rendah hati kami menyadari bahwa buku ini sungguh jauh dari kelayakan, maka rasa hormat dan terima kasih kami sampaikan atas setiap saran, kritik, dan masukan yang ditunjukkan kepada buku ini.

Besar harapan kami buku ini akan dapat memberi sumbangan dalam perkembangan dunia sastra di Program Sarjana Bahasa dan Sastra Universitas Jenderal Soedirman pada khususnya dan kalangan luas pada umumnya.


Juli 2007

Hormat kami,


Sasindo ’05 Unsoed


























Farah Kartika Sari



BUKIT KENANGAN



Suatu hari ketika mereka belum saling mengenal satu sama lain mereka berdua lulus dari sekolah jenjang tinggi tingkat pertama (SLTP) dan akan melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi mereka masuk SMA yang terfavorit di daerah itu pada hari pertama masuk sekolah mereka mengikuti kegiatan sekolah untuk saling mengenal satu sama lain yang dikenal dengan sebutan ospek. Pada suatu ketika mereka berdua di hukum karena mereka datang terlambat dan disuruh maju untuk menghadap senior ketika itu mereka berdua berkenalan akhirnya terlihat makin hari makin akrab sejak perkenalan pada waktu di hukum. Mereka berdua sering terlihat berduaan di kelas yang dapat membut siswa lain iri di kelasnya. Pada hari-hari sekolah mereka sering tidak masuk untuk mengikuti pelajaran seperti biasanya, pada suatu hari mereka dipergoki guru sedang berduan di kantin belakang sekolah pada waktu pelajaran sedang berlangsung, mereka berdua dipangil untuk menghadap wali kelas dan diberi nasehat agar tidak berduaan pada saat jam pelajaran berlangsung dan mereka tidak menghiraukan apa yang telah dikatakan oleh wali kelas mereka, mereka sering kali dipergoki oleh teman-teman mereka sedang berduaan dan akhirnya mereka dipanggil untuk memberikan sebuah surat kepada kedua orang tua mereka agar putra putrinya dididik agar tidak mengulangi perbutanya lagi.

Ketika mereka memasuki kelas tiga mereka berdua makin akrab bagaikan sepasang merpati yang sedang di mabuk cinta. Pada saat akhir catur wulan sekolah mengadakan study tour ke suatu tempat yang sudah dikenal banyak orang, mereka berdua ikut dalam liburan tersebut mereka mengujungi tempat-tempat yang cukup romantis untuk berduaan. Pada saat rombongan melihat-lihat pemandangan yang ada di sekitar tempat wisata tersebut, mereka berdua malah berpisah dari rombongan tersebut dan berjalan berduaan sambil bergandengan tangan dan tidak menghiraukan guru dan teman-teman, seakan dunia ini milik mereka berdua.

Disaat kelulusan mereka berdua memutuskan untuk berjaga jarak untuk sementara waktu dikarenakan ujian nasional yang akan menentukan nasib mereka berdua di akhir kelak. Di saat hari pengumuman mereka berdua lulus dengan nilai yang cukup memuaskan. Di suatu malam mereka berjalan-jalan untuk merayakan hari kelulusan mereka..

Di malam yang dingin dan langit yang cerah dihiasi bintang-bintang yang berkelap kelip di angkasa, sepasang muda-mudi bercanda dengan asik dan riang menceritakan masan lalu dan kisah cinta mereka yang telah mereka jalani selama ini. Pada saat asiknya bercengkrama mereka melihat ada sebuah bintang jatuh yang dipercaya dapat mengabulkan segala permintaan. Mereka berdua akhirnya mengucapkan sebuah permintaan yang masing-masing berbeda satu sama lain yang satu memohon agar hubungan yang telah dijalani selama ini bertahan hingga jenjang pernikahan, yang satunya memohon diberikan kehidupan dan pekerjaan yang baik untuk masa mendatang.

Tidak terasa malam berlarut dengan cepatnya dan mereka berdua memutuskan untuk pulang dan meninggalkan malam yang dingin dan tiupan angin yang sepoi-sepoi dan pasangan tersebut berpisah untuk sementara waktu hingga fajar menerangi muka bumi esok, dan mereka yakin akan erat dan utuhnya cinta mereka. Walau keadaan apapun yang akan terjadi.

Pada suatu ketika mereka berpisah untuk jangka waktu yang cukup lama, mereka mendapatkan suatu pakerjaan yang layak dan dapat untuk mencukupi kebutuhan mereka. Di suatu ketika tidak sengaja mereka bertemu di sebuah rumah makan sederhana dan mereka ternyata masih saling mencintai dan menjaga eratnya cinta mereka dan akhirnya sang laki-laki tersebut memutuskan untuk meminang menjadi istri. Di saat ingin melakukan acara melamar sang kekasih di dalam perjalanan mereka mendapatkan musibah yang cukup membuat hati shock, mereka mengalami kecelakaan yang cukup serius pada saat mereka akan dibawa ke rumah sakit di dalam perjalanan sang kekasih tersebut meniggal karena banyak mengeluarkan darah, setelah kejadian tersebut sang kekasih mendengar berita tersebut langsung shock dan pingsan dalam waktu yang cukup lama seakan tidak terima apa yang telah terjadi. Dan akhirnya dia memutuskan untuk mengikuti sang kekasih ke dunia yang berbeda dengan cara melompat dari tebing yang merupakan tempat saksi dan kasih cinta mereka yang telah mereka jalani selama ini.


~~~∞۝∞~~~








Gita Anggria R



AKU DAN GADIS KECIL ITU



Pagi ini langit tampak tak bersahabat, sama seperti kemarin dan kemarinnya lagi. Langit mendung tak ada awan biru yang sejuk di pandang mata. Matahari pun tak muncul dari peraduannya seakan enggan berbagi kehangatannya. Yang ada hanyalah kumpulan awan hitam yang siap membasahi bumi. Dikawal hembusan angin dingin membawa debu dan serpihan dedaunan kering.

Mungkin ia tidak akan keluar menampakkan batang hidungnya jika hujan turun terus-menerus seperti hari ini, mungkin aku tidak akan melihatnya lagi. Entah sampai kapan langit di atas tanah seolah tidak pernah puas menumpahkan hujan selama tiga hari ini. Benar seperti dugaanku hujan mulai turun mulai dari gerimis yang kecil sampai dengan hujan di sertai angin dan gemuruh dengan sangat lebatnya. Hingga dapat terlihat sudut-sudut kota, jalan tampak sepi dan lengang. Mungkin mereka lebih memilih untuk diam dirumah dari pada harus keluar rumah dan menghadapi hujan. Yang nampak hanyalah orang-orang yang tersadar menjalankan kewajibannya. Ah, itu dia gadis cilik berkepang dua yang sudah tiga hari aku tidak melihatnya. Tubuhnya basah kuyup sambil berlari-lari kecil dan membawa payung untuk di tawarkan kepada mereka yang mencoba berteduh di pinggiran kota. Ia berjalan ke arahku menawarkan payung pada orang yang ada di depanku bukan kepadaku.

Sudah sejak satu bulan yang lalu memperhatikan gadis kecil itu, tampilannya lusuh, kotor dan seperti tidak terurus, tapi aku tahu kalau dia mempunyai wajah yang sangat cantik. Untuk itulah aku tertarik untuk mengamatinya lebih jauh. Namanya Key, aku tahu ketika teman-temannya memanggilnya. Aku tidak pernah tahu latar belakangnya, apakah dia punya orang tua? Apa masih sekolah? Atau bertempat tinggal dimana? Yang aku perhatikan hampir setiap hari ia sudah berada di sini di daerah sekitar toko emperan ini. Pekerjaannya tidak tetap, kadang menjajakan koran, mengamen dari angkot satu ke angkot yang lain atau membawa kemoceng untuk membersihkan kaca mobil atau terkadang ia memanfaatkan situasi seperti hari ini misalnya, mengojek payung.

Anaknya giat, ia harus berkerja siang malam tak kenal lelah. Tercium aroma matahari jika ia lewat di depanku. Ia mungkin sedang bertekad mengumpulkan uang untuk membeli sesuatu. Aku hanya bisa berdoa semoga hasil kerja kerasnya tidak di potong sana-sini untuk jatah preman. “eh, key! Ngapain disini?” tanya seorang gadis cilik yang membuyarkan lamunannya. “eh, enggak aku lagi liat-liat baju di toko seberang sana. Bagus...bagus ya! Apalagi yang ada di depan itu. Bagus sekali ya?” Key meminta pendapat temannnya. Pasti bagus, Key! Harganya juga pasti bagus. Aku berniat membelinya untuk ibu, aku ingin sekali membahagiakan ibu. Ibu sudah tua, tapi masih saja bekerja keras untuk menghidupiku, adik dan kakakku. Sejak ayah sudah tidak ada, ibu enggak pernah punya baju baru. Setiap ibu punya uang pasti di berikan untuk kebutuhan kita. “Kamu masih beruntung punya ibu. Kalau ibuku masih ada, aku juga mau buat dia senang”, kata santi. “Kamu punya uang Key? “ sedang aku kumpulin sih tapi berapa ya harga baju itu? wah aku enggak tahu Key, jangankan bertanya harga mendekati pun aku enggak berani takut disangka macam-macam kita kan anak jalanan yang mungkin enggak di anggap. Ayo key kita cari uang lagi biar kamu bisa ngumpulin uang untuk membahagiakan ibumu! Key pun beranjak dari duduknya dan bersemangat lagi serasa lelah pun hilang dan tidak perduli dengan peluh yang membasahi tubuhnya. Aku mencermati pembicaraan mereka, mulia sekali hati Key pasti ibunya bangga mempunyai anak seperti dia. Hampir setiap hari Key meluangkan waktunya sejenak untuk duduk di taman kota yang terletak di seberang toko pakaian. Toko pakaian tersebut bisa dianggap sebagai butik dengan harga-harga pakaian yang berkisar ratusan ribu rupiah. Key mengamati dengan seksama sambil memikirkan baju mana yang cocok untuk ibunya. Menjelang maghrib aku sering melihatnya sedang menghimpun uang receh yang ia peroleh tidak banyak hanya lima ribuan saja perhari itu pun harus dikurangi untuk jatah makan sehari-harinya.

Sampai akhirnya ia memberanikan diri untuk melihat dari dekat tidak seperti biasanya dari jauh. “wah bagus sekali”, gumamnya saat melihat salah satu pakaian yang ada di etalase. Ia masih menatapi pakaian-pakaian yang ada di etalase tersebut sambil memikirkan mana yang cocok untuk ibunya. Ia tidak menyadari bahwa sejak tadi beberapa pasang mata sedang memandangi gerak-geriknya dengan penuh kecurigaan. Ingin sekali aku meneriakan “ayo cepat pergi” tapi aku tak bisa. Sampai akhirnya keluarlah seorang laki-laki dari dalam toko itu. Benar sekali dugaanku, ia diusir dengan sangat tidak hormat “eh kamu ngapain disini, dasar gembel, cepat pergi!” ia menurut saja apa yang dikatakan tapi ia tetap tidak akan mengurungkan niatnya, membeli salah satu pakaian yang ada di butik itu untuk ibunya.

Seminggu setelah kejadian itu ia berani kebutik itu dengan membawa uang yang di genggamnya erat-erat. Dengan memandangi etalasenya sejenak, untuk memastikan apakah pakaian yang ia mau beli masih ada disana. Secara tak sengaja pandangan kami beradu! Entah ia merasakan atau tidak bahwa aku telah lama memperhatikannya tapi nampaknya ia tidak perduli dengan pertemuan mata kami. Ia pun segera membuka pintu butik itu dan masuk ke dalam. Kembali semua mata memandanginya, gadis kecil berkepang dua dengan pakaian kotor dan lusuh serta hanya memakai sandal jepit tapi ia tak gentar. Aku punya uang! Aku tidak mencuri! Mungkin perasaan itu yang ada di pikirannya. Laki-laki yang kemarin mengusirnya, kali ini menghampirinya. “kamu lagi mau apa kamu” saya mau beli baju sambil menunjuk salah satu pakaian yang terdapat di etalase. Ha...ha...ha, tiba-tiba laki-laki itu tertawa keras, “kamu mau membeli baju itu? gembel macam kamu apa punya uang?”. “Ini saya punya uang!” Ia menunjukkan beberapa lembar uang sepuluh ribuan. Sudah lusuh memang, mungkin terlalu kuat menggenggamnya dan uang itu pun lembab terkena keringat. “kamu bawa uang berapa?”, tanya laki-laki itu dengan nada sinis. “Tiga puluh ribu!”. Ha...ha..kembali lelaki itu tertawa. Mau dapat apa uang segitu? Kancing baju? Ha...ha..kali ini bukan hanya lelaki itu yang tertawa tapi juga yang berada di dalam butik. Mereka semua menertawakan hal yang sangat tidak pantas dijadikan lelucon. “Hey, jangan tertawakan dia!”, Aku mencoba berteriak tapi tak pernah ada suara. Gadis kecil itu tetap berdiam berdiri tegak di tempat yang sejak tadi ia pijak. “Sekarang kamu keluar saja! Baju baru itu tidak cocok untuk gembel macam kamu!”, usir laki-laki itu. “hey dia anak jalanan yang ingin membahagiakan ibunya!”, aku kembali mencoba berkata tapi nihil! Enggak saya enggak mau keluar sebelum saya mendapatkan baju itu “KELUAR! CEPAT KELUAR!!” tapi ia tak bergeming. Lelaki itu hilang kesabaran dan lalu menyeretnya keluar, sesampainya di depan ia mendorongnya. Tubuh gadis itu terhempas kuat, kini tubuhnya bergertar ia pun menangis...hatiku tak kuat melihatnya menangis. Di dalam hati aku pun turut menangis tapi percuma, tidak ada air mata yang keluar dari sudut mataku. Aku menyesali keadaanku selama ini, ingin sekali aku merengkuhnya, menghiburnya..., tapi aku tak pernah mampu karena aku..., karena aku hanyalah sebuah patung butik yang sudah lama di pandanginya.


~~~∞۝∞~~~











Dwiana Jati Setiaji



MBLEDUK



22 Maret

Ji, gimana ? Departemen kamu belum ada kegiatan lho.

Iya nanti Aku rapatin sama anggota Departemenku.

Aji,..!!! Bayar utang 80”, sudah ditagih terus sama Menteri Keuangan.

Jangan lama-lama masa jabatan kita tinggal sebentar lagi habis.

Ya ampun Teh,.. sekarang kan tanggal tua, Aku nggak megang duit. Buat makan aja ditanggung Vemo.

Kapan ?

Bulan depan, pas tanggal muda.

Terus LPJ-nya Yuka mana?

He...he.. masih belum ketemu Teh.

Pokoknya Yuka nggak mau tahu, harus ketemu!.

Aku udah nanya sama Presiden, tapi dia nggak punya terus aku tanya Kuat, katanya dia baru bisa bawa besok.

Nih pesenan kamu, sudah jadi.

Yah kok talinya pendek? Bisa dipanjangin nggak Teh? Biar bisa dikalungin.

Iya tadinya juga mau panjang tapi benangnya habis. Apa mau pake warna kuning aja talinya?.

Ji nanti mungkin kamu main di drama II.”

Ya, Eh Apa?”. Ah...Jangan, jelek. Mendingan pake Ijo aja, kapan-kapan kalo udah ada benangnya aja diterusin.

Main jadi siapa?”

Ntar, kita coba casting dulu.

Berapa ini teh?”

Udah nggak usah

Beneran nih? Ah jadi enak he..he.. he.. terus pesenan yang satunya lagi gimana?

Ya Allah masa Yuka disuruh ngrajutin Celana dalam? Pesen mbok ya yang wajar, kayak bungkus HP itu.

Kan asik Teh, belum ada kan yang pake celana dalam rajutan?

Sedeng.”

29 Maret

Jadi sebagai Menteri Pendidikan saya memutuskan akan membuat Lomba Menulis Karya Fiksi. Ada yang punya usul mau Lomba menulis apa?

Puisi?

Basi...”

Cerpen?

Biasa...”

Novel?

Berat...”

Essai?

Susah...”

Komik?

Gila...”

Sudah! Saya putuskan Lomba Membuat Cerpen. Sekretaris, proposal sudah masuk sebelum ujian semester. Pelaksanaan setelah ujian. Bagian Publikasi bikin iklan yang menarik, demikian rapat dari Departemen Pendidikan. Sebelumnya, apa ada pertanyaan? Nggak ada? Selamat Siang.

Sore...”

Selamat Sore menjelang malam.

Ri Aku mau minjem LPJ-nya kamu! apa aja, kalau perlu semuanya. kasihin ke Dani ya. Makasih...

Eh mau ikutan osma nggak?”

Rencananya sih ikut.

Yah semoga Osma kali ini menarik.

Osmanya apa pesertanya?”

Dua-duanya.

Hem... semoga.”

2 April

Aji...!! Sudah tanggal muda.

Ya Ampun Teh, Sekarang baru tanggal 2, gajian tanggal 5.

Bener lho ntar jangan-jangan nggak dateng?

Ji, kalau LPJ belum dibikin Sertifikat belum bisa dibagi.”

Iya, aku sudah minta tolong sama Si Ari buat minjemin LPJ-nya ke Dani, Si Teteh juga... ngomel-ngomel terus.

Yah Dia kan juga sibuk, nggak cuma kamu.

Kapan ke MAN?

Nggak tahu, belum jelas. Pembentukan tim produksi drama II sudah belum?

Belum.

21 April

Maz Aji Met Ultah, moga panjang umur selalu dilindungi Allah n cepet dapat pasangan.”

Makasih de, kamu yang pertama.

Aji, makan-makannya mana?”

Aduuuh, di pending dulu deh, aku lagi gak punya duit, habis buat mbayar utang ke Negara.

Kamu kayaknya jadi Sutradara.”

Lho kok Aku?

Aku kan jadi Pimpro, jadi nggak mungkin megang dua-duanya.”

Kan masih ada Si Ade?

Kayaknya Adenya nggak mau.”

Kapan? Aku sih oke-oke aja.

Kapan? Kapan-kapan.”

Kapannya kapan?

Sekapan kapannya.

Utang kamu dah lunas?”

Baru 70, kamu?

50.”

Lagi ngapain de?

Nggak lagi ngapa-ngapain, mas? Eh kapan makan-makannya, buat aku yang spesial ya!”

Ji..!!! mau nitip makan nggak?”

Nggak.!!

Spesial? Paling nonton, terus makan sate kambing.

He..he..he.. Aku pengin cerita nih mas.”

Beneran? Mau ditraktir Rudi lho.”

Anjrit, nggak, nggak.

Buat besok aja.

Sama. Aku juga pengin cerita banyak, sudah lama aku nggak main kesitu.

Ah iya aku juga penasaran ma ceritanya maz. maen kesini sih!”

Bet, motor nanti kepake nggak?!

Ya udah ntar aku main kesitu.

Beta neng ndi?

Kamar mandi.”

Bet, motor dipakai nggak ntar malem?

Kepake, buat les.”

Yah , kamu bareng siapa kek,Catur!

Kapan ke Sisha?”

Katanya mau beli makan?

Nitip.”

Ntar dulu aku lagi ada bisnis ma Beta, gimana Bet?

Ya udah ntar liat aja.”

Kapan-kapan aja ke sishanya, buat makan sehari-hari aja.

Ko, metu ra mengko bengi?

De, kayaknya aku nggak janji ntar bisa kesitu apa nggak.

Nggak tahu, durung genah, ono opo to?”

Nek kowe ra metu, aku arep nyilih motore.

Niate arep dolan tapi mbuh sida po ora, mengko bar maghrib tak sms nek ra sido.”

Gerimis, kayaknya mau hujan gedhe.

Bet gantian, aku mau mandi.

Bentar, lagi nanggung.”

Boker ya?.

Mang kenapa mase?”

Ya bisa.

Bet aku gak jadi minjem motor, dah dapet.

De, mandi gih, bentar lagi aku kesitu.

Bet.

Ya iya.”

Ntar anterin bentar ya.

Enak aja, dah mandi kali, aku tunggu mas.

Bet, ayo anterin ke depan, deket depot air.

Sini?”

Belok kiri, depan masjid. Yak sip. Makasih ya Bet.

Arep metu karo sopo to?”

Biasa

Ceritane CLBK?

Arep neng ndi?”

Ah biasa, piye kowe durung mangan-mangan?

Kowe yo durung.”

Kan ndisitan kowe?

Nggawa STNK po ra?”

Ra usah. Ayuk ko.

Yo, Ati-ati.”

5 Mei

Aji kamu beneran jadi sutradara kali ini.”

Lha si Ade?

Dia nggak mau, anak-anak pada setuju kamu yang jadi sutradara, naskahnya sudah ada, tinggal kamu bikin konsepnya aja.”

Ya udah kalau gitu, besok senin kita ngumpul, bahas konsep!

7 Mei

Gimana Ji? Sudah dimulai belum?”

Iya Pak Presiden.... Saya sedang mencari Jurinya nanti atau besok sudah bisa mulai publikasi.

Mase, makasih buat yang semalem.”

Maaf Bu Wieke, kami mau mengadakan Lomba membuat cerpen, kami memilih Ibu sebagai Juri, Ibu bisa nggak?

Ya kalau saya sih mau-mau saja tetapi bilang dulu sama Pak Bambang nanti saya dikira nglangkahi. Ya udah itu aja paling yang aku minta, dan tolong surat-surat atau apalah yang sesuai prosedurnya saja.”

Masalah Pak Bambang, semalam saya sudah telpon beliau, beliau matur, ”Kenapa harus saya? Masih banyak yang lain Bu Wieke misalnya? tapi kalau terpaksanya nggak ada yang lain ya saya bersedia.”

Kalau masalah surat, saya kira tidak perlu, tetapi kalau Ibu mau nanti saya suruh sekretaris bikinin.

Oh kalau begitu ya sudah, saya sih mau-mau saja, kapan pelaksanaannya?”

Naskah kami serahin ke Ibu tanggal 22 mei, ya kalau begitu saya permisi dulu

Ya”


10 Mei

Gimana? Sudah ada yang ngumpulin?

Belum”


11 Mei

Gimana?

Nihil”

12 Mei

Sudah?

Tetep”

13 Mei

Aji...?”

Aku belum pegang satu pun, warga disini sudah pada kebanyakan duit barangkali

Atau mungkin mereka memang males?

Mungkin cuma kurang greget, tapi anak luar negeri kayaknya bakalan banyak yang ngumpulin, gelagatnya bagus.

Terus anak Indonesianya?”

Sebenarnya mereka punya potensi, cuma nggak tahu kenapa mereka kurang peka dalam melihat celah.

Aji, Yuka boleh ngirim cerpen nggak?”

Ya nggak boleh kamu kan panitia.

Apa iya ya?”

apa aku juga bikin cerpen juga ya?

Tapi kan kamu yang ngadain acara ini?”

Saya selaku Pimpinan nggak membuat peraturan yang melarang anggota kabinet ikut lomba. Lagian jurinya juga dari pihak luar. bukan kita.

Iya, tetapi haloo..apa kabar dengan anggapan publik? Cara pandang mereka menentukan masa depan bangsa kita.”

Pro?

Ksatria.”

Kontra?

Pecundang Jadi boleh nggak nih?”

Bikin aja, toh daripada nggak ada yang ngumpulin, saya juga mau bikin, sekalian buat latihan, tujuan utama kegiatan ini kan itu.

Pak Sut... konsep dramanya gimana?”

Selingkuh.


~~~∞۝∞~~~









Mardiana Kurnia L



SEBELUM CINTA BICARA



Dilla menatap luna dengan alis bertaut. Dia tidak mengerti permintaan Luna yang dianggapnya aneh. Luna memintanya untuk menjauhi Aga, hanya karena Putri, adiknya semata wayang yang sering jatuh sakit.

Please…”, mohon Luna dengan mimik sedikit memelas.

Itu bukan urusanmu Lun, dan kamu ngga usah ikut campur!”

Tapi Putri mencintainya”…

Lantas aku harus mengalah seandainya aku juga mencintainya, begitu?”, nada Dilla melantun sinis.

Luna menunduk.”Aku memang egois…”

Setiap orang punya ego Lun. Tapi permintaanmu itu sangat aneh. Apakah aku ngga bisa bersahabat dengan Aga sama halnya aku bersahabat dengan Doni, Seto atau Bimo?”

Aku bisa mengerti itu, tapi Putri…”, kalimat Luna berhenti karena merasa tersudut.

Dilla menghela nafas.

Adikmu perlu diberi kursus kilat bagaimana caranya bersikap dewasa,” sungutnya tanpa sadar.

Dilla…”!!!

Ow, maaf”! Dilla menggeleng,menyesal.

Baiklah Lun, kita bersahabat bukan?? kita ngga usah bertengkar. Aku akan mencoba memenuhi permintaanmu”, lanjutnya. Dia tahu, Luna terpaksa demi adiknya. Dan Dilla meski sakit, harus memahami.

Luna menarik nafas lega.

Thanks, Dil. Kamu memang baik”, Ucapnya lantas pamit pulang.

Dilla tercenung, sedih. Menjauhi Aga bukanlah hal yang mudah, karena banyak kesamaan dalam diri mereka. Sama-sama suka basket, renang, dan musik. Jika sudah bertemu, Dilla suka lupa waktu. Aga baik, ngocol, dan pintar. Tapi, mulai sekarang Dilla harus terbiasa melewati hari-harinya tanpa seorang Aga.

Ah, begitu mudah seseorang menentukan jalan hidupnya…

Gedoran dipintu kamar cukup mengagetkan Dilla. Dimatikannya televisi yang ada dikamarnya. Dia tahu siapa yang punya kebiasaan jelek seperti itu. Aldi, kakak semata wayangnya!

Sudah sore begini masih mengurung diri di kamar, dasar males.Tuh ada Aga didepan!”, omelnya begitu Dilla membuka pintu.

Bilang aku ngga dirumah”. sahut Dilla males.

Aldi menunjuk jidatnya, ”monyongmu!Aku sudah bilang kau ada!Cepat keluar temui temanmu!! Kalau males terima tamu, bilang terus terang, Aga pasti mau ngerti!”, perintahnya galak.

Dilla merengut, menuju cermin, sisiran, lalu balik lagi menyeret kakinya ke depan. Ditatapnya punggung Aga dengan berjuta perasaan, kemudian menata hati, mencoba bersikap biasa.

Hai….”, sapanya riang. ”Tumben sore-sore nyasar kemari??”, Cowok itu membalikkan tubuh, tersenyum sama cerahnya sapaan Dilla. ”Ini,aku ada tiket nonton konser Ungu malam nanti di GOR”, katanya.

Sekejap cerling mata Dilla berbinar. Dia suka Group musik Ungu, sangat apalagi dengan vokalisnya, Pasha. Tapi, saat teringat Luna, binar di matanya jadi meredup, berganti kabut sendu.

Sebenarnya aku ingin sekali…”

Hanya malam ini main, sayang sekali tidak nonton!”, potong Aga.

Apa boleh buat ga, aku harus menemani mama ketempatnya Oma”, dusta Dilla menekan hasrat didadanya.

Wah, kalau begitu sia-sia dong aku bela-belain mendapatkan dua buah tiket”, keluh Aga kecewa. Dia kemudian pamit pulang melangkah lesu.

Dilla mengantarnya sampai teras depan, melepasnya sedih. Serasa ingin menangis saja. Kemudian ia kembali masuk rumah, berhenti pas di samping meja telepon yang berdering. Dilla mengangkatnya pada deringan ke tiga.

Bintang!” Dia mengenali suara di ujung telepon.

Ngga usah teriak, aku belum tuli!”, protes Bintang.

Dilla tertawa. Bintang sepupu paling akrab dengannya. Sayang, dia sekarang kuliah di Jogja, sementara Dilla di Purwokerto. Terkadang Dilla merasa kehilangan, terlupakan.

Kemana aja sih, kapan pulang dari Jogja?”

Aku pulang kemarin. Kok, kamu tahu kalau aku udah di Purwokerto?”, tanya Bintang heran.

Ya, iyalah. Kamu telpon aku kan kalau kamu ada di rumah, kalau kamu di Jogja, mana inget sama aku. Iya kan?”

Iya deh, iya. Gitu aja ngambek. Eh, nanti malam ada acara ngga?”

Ngga, kenapa?”

Dilla suka Ungu kan? nanti malam mereka main, tapi kalau Dilla mau…”

Jemput aku jam tujuh tepat ya!”, sambar Dilla tanpa pikir panjang lagi. Lebih baik pergi dengan Bintang dari pada Aga. Kalau mereka bertemu nanti, biarlah. Dilla sudah pasrah. Biarlah Aga tahu kalau Dilla ingin menghindarinya!

Di GOR, seusai acara pertunjukan, mereka benar-benar bertemu. Dilla baru saja meloncat naik di boncengan Bintang ketika sepasang mata menyergapnya diantara jubelan penonton yang hendak pulang. Aga!!!

Dan Dilla dapat menangkap sinar ganjil dalam pandangan cowok itu! Diatas boncengan motor Bintang yang melaju membelah malam, Dilla mengeluh.Oh…Tuhan beginikah jalan yang harus kuikuti? Betapa mudahnya seseorang merenggut kebahagiaanku. Alangkah rapuhnya diri ini. Dulu, saat bersama Randi dia pun meninggalkannya. Dia dengan teran-terangan mengatakan mencintai wanita lain, Shinta. Dan aku tidak mau kalau harus diduakan. Aku memilih mundur dan memutuskannya. Hingga akhirnya, aku benar-benar melupakan semuanya.

Ah, begitu mudahnya semuanya terjadi…

Dilla duduk termenung disamping kamarnya, di bawah pohon rambutan yang berbuah lebat, entah sudah berapa lama. Angin berhembus, menyentuh gerai rambutnya, mengusap dedaunan dan menggoyangkan teratai dalam kolam.

Kemarin di toko buku, Dilla bertemu dengan Aga. Dia ngga sendiri, tapi berdua dengan Putri. Gadis itu nampak manja, dan lengket. Cepat-cepat Dilla meredam detak jantungnya, yang entah mengapa sontak menderu. Ada sesuatu yang mencubit hatinya melihat kemanjaan Putri!

Eh, kak Dilla, lagi nyari buku apa?”, tegur Putri tanpa bergeser dari sisi Aga.

Kamus inggris, Put.kamu sendiri?”, Dilla balik bertanya.

Ini,kak Aga mencari buku otomotif melulu.”

Dan Harry Potter buat dia!”, Sela Aga sambil tersenyum.

Dilla juga tersenyum. ”Aku duluan ya. Main-mainlah kerumah, Put. Ajak kak Aganya sekalian!”,katanya. Diliriknya Aga. Cowok itu menatapnya dengan dahi berkerut. Tapi Dilla ngga peduli, melangkah pergi dari hadapan mereka.



Aih, Dilla menggelengkan kepala, menepis rekaman kejadian kemarin dari kepalanya. Dihelanya napas panjang, kemudian dilepaskannya pelan-pelan.

Beberapa hari ini waktunya banyak tersita lamunan. Dia begitu betah dalam sepi, membiarkan angannya melambung jauh. Dan di ujung lamunannya, sesekali napasnya terdengar menghempas, seperti ingin membuang sesuatu yang menyesak dalam dadanya.

Boleh aku temani”

Suara itu menyentak kesendirian Dilla, suara yang ngga asing lagi, yang sering terngiang-ngiang dalam lamunannya. suara milik Aga!!!

Dilla mengangguk kecil, menggeser duduknya kesamping, memberi tempat untuk Aga. Mereka sama-sama diam, membiarkan sunyi melintas, menatap teratai dalam kolam. Dilla melirik Aga di sampingnya, seperti ada sesuatu yang tengah dipikirkannya.

Ada apa ga?”, tanyanya tergagap. Cowok itu diam, menatap Dilla dengan sorot mata yang sulit diselami. Dilla jadi berdebar.

Kenapa berubah padaku?”, tanyanya tanpa melepaskan tatapannya pada Dilla.

Be…be…berubah gimana??”

Kamu tahu betul apa yang aku maksud kan?”

Aku…aku…”

Aga menggeleng-gelengkan kepala, meraih jemari Dilla, kemudian menggenggamnya erat.

Kau memang gadis yang baik, tapi juga sangat bodoh’

Alis Dilla bertaut.” Aku ngga mengerti maksudmu”

Dikampus kita belajar bahasa Indonesia bukan?

ya”

Kata-kata apa yang paling sulit diucapkan dalam segala macam bahasa?”, Dilla menggeleng bodoh.

Kata “tidak”. Pada saat kita mulai dewasa seperti sekarang ini, kita harus belajar mengatakan “tidak”, bahkan juga kepada sahabat kita sendiri. Hidup kita adalah milik kita sendiri, jangan biarkan ogang lain mengaturnya. Paham maksudku?”, tutur Aga panjang lebar.

Perlahan, Dilla bisa meraba arah kalimat Aga. Tapi, dari mana dia mengatahuinya?

Luna menjadikannya mak comblang untuk adiknya, jelas Aga seperti mengetahui isi kepala Dilla.

Tapi aku katakana ”tidak”. Aku menolak keinginannya menjodohkan aku dengan adiknya. Kukatakan padanya aku sudah menyayangi seseorang, jauh sebelum aku mengenl adiknya!”

Nafas Dilla tertahan.

Ingin tahu siapa gadis itu?” Aga lagi-lagi bisa menebak isi kepalanya. ”Dia adalah Dilla Andriani Paramitha”

Dilla nyaris tak mempercayai pendengarannya. Tapi ketika melihat senyum menawan Aga, dia yakin, Ini realita. cowok itu mencintainya,,oh…!!!

Seketika debar-debar bahagia merajai sukmanya, membuatnya sadar kalau dia juga ternyata menyimpan cinta untuk Aga!!

Angin tetap berhembus dan teratai pun terus bergoyang, tapi mulai besok Dilla akan belajar untuk lebih menghargai dirinya sendiri.


~~~∞۝∞~~~










Suharyanti



CINTA SEJATI RURI



J

29 April 2002


Berry, tadi pas jam istirahat, Ruri ketemu cowok imut itu, Esa. Waktu dia lewat, pas didepan Ruri, hati Ruri jadi deg-degan githu deh !!! aduh kenapa ya… mmm… cowok itu makin hari makin imut… mmm… Lutchu!!! tapi… Ruri kan dah janji sama diri sendiri, kalo udah 17 taun, baru boleh tuh yang namanya pacaran…!!! mmm….Ruri pikir umur segitu baru cocok, soalnya udah gede, pacaran ??! it’s ok lah !!! mmm… kalo bisa sih…..sama cowok lutchu itu….!!!! he…he.. Semoga berhasil,... Semangat!!!

am istirahat masih kurang setengah jam lagi. Hari ini Ruri belum “absen", ke kantin untuk melihat cowok incerannya di sekolah. 30 menit bagaikan 100 tahun bagi cewek yang sedang jatuh cinta ini. Ia Tak sabar !! cepat!


P

20 Mei 2002


Hari ini Ruri udah genap 17 taun !!! nggak ada pesta tapi banyak surprise dari temen-temen dan juga dari Mamah yang paling Ruri sayang… Ruri seneng banget …!mm…Tadi sore habis hung out ke mal bareng temen-temen. Traktir temen-temen nonton, terus makan di kafe langganan. Kaya biasa… sambil refresing nyari cowok cakep, cekikikan kaya kuntilanak, iseng ngusilin orang lewat. No party ?! No problem, yang penting having fun!!!

elan saja Ruri meletakan gelas milk shake coklat hangat diatas meja belajar tak jauh dari tempat pesawat telepon berwarna hijau muda diletakan setelah ia tumpahkan isi hatinya pada sebuah buku hariannya, Berry.


3

10 Juni 2002


Berry, Hari ini Ruri jadian ma Esa. Bener-bener enggak nyangka. Seneng banget deh pokoknya!! Akhirnya mimpi Ruri jadi kenyataan… uuuuh. Thanks god!!!

Minggu kemudian…


R

25 Juni 2002


Cut!!! putus sama Esa. Ternyata…!!?! Esa seorang Playboy Kelas kakap. Kemarin lusa, Lisa, Lia, Tira sama Mia ngeliat Esa jalan sama cewek? Mesra grrrr…!!! sebel, sebel…!!!

Cinta? apa itu cinta? cinta cuma bikin cewek nangis… menderita sakit…!!! hiks… hiks… hiks. Selama Ruri pacaran sama Esa, Ruri lebih milih pergi bareng dia ketimbang pergi sama temen-temen. Maafin Ruri ya temen-temen… Ruri salah…

uri sangat menikmati hari-hari bersama Esa. Indah Dunia serasa milik berdua. Sampai-sampai Ia lebih memilih pergi sama “first love” nya dari pada jalan bareng ma sahabat-sahabatnya. Tapi, itu tidak berlangsung lama…


Di kantin, tanpa banyak kata, Kesempatan itu digunakan Ruri untuk meminta maaf pada teman-temannya.

Mmm…Lia, Tira, Mia, Maafin Ruri ya…!”

Emang kamu punya salah apa sama kita-kita?”

Jawab Tira dengan nada cukup sinis melirik Ruri.

E… Ruri sadar selama Ruri pacaran sama Esa, Ruri jarang gabung dan jarang jalan bareng kalian. Ruri ngerasa, dulu, Ruri lebih milih jalan sama Esa kalian,” jawab Ruri sambil memainkan jari-jarinya. Cemas. Jantungnya berdegup kencang. Ia takut dan tak tahu harus berbuat apa kalau teman-temannya tidak mau memaafkan dia.

Ya udah, kali ini kita maafin kamu, janji ya jangan kaya gitu lagi!” Sahut Mia sambil merangkul pundak Ruri.

Satu minggu siang, Ruri duduk di sofa krem berlapis kulit ,di ruang TV sambil meneguk segelas minuman kesukaannya Milk Shake coklat, dingin, seger buatan mama yang ia ambil dari kulkas. Terdengar telepon berdering tiga kali. Mbok Minah tergopoh-gopoh menerimanya.

Mbak Ruri ada telepon dari Mbak Lia,” sahut mbok Minah pelan.

Kenapa, Li ? Tumben siang bolong begini telpon !”

Ke BSM yuk! Anterin Lia beli kado buat mama. Lagian… Lia BT nih di rumah! Tira sama Mia udah Lia kasih tau. Kita janjian di tempat biasa, OK?”

Dengan segera Ruri mencegat taxi yang lewat. Sebenernya ia malas pergi keluar rumah. Panas bo!! rambut gadis manis berkulit kuning langsat yang terurai panjang mengikuti gerakan badannya. Baju biru berenda dan rok mini yang ia pakai, sehingga membuat orang-orang terpana memandangnya. Anggun.

Sory ya… telat! udah lama?” Ujar Mia terengah-engah.

Mmm… lumayan, udah 15 menit lah,” sahut Ruri lemas sambil melihat jam tangannya.

Setelah setengah jam mereka nongkrong di kafe, ngobrol-ngobrol sambil minum jus Apple, datang seorang cowok bertubuh tinggi, berkulit sawo matang.

Hai Tira! udah lama nggak ketemu!” ujar cowok tinggi dengan senyumnya yang manis .

Iya nih! Abis… Kak Rezky kan belakangan ini jarang maen kerumah! O... iya ... kenalin Kak, temen-temen Tira.”

Temen-temen, kenalin nih, kak Rezky, temen abangnya Tira..”

Ruri terperanjat ketika Mia memukul pundak Ruri yang sedang asyik memainkan Mp3 nya dengan jemarinya yang kecil.

Aku Ruri, tadi siapa nama kamu?”

Ya ampun Ruri! tadi kan aku udah bilang, dia itu namanya kak Rezky,” samber Tira.

Oh... sory, tadi aku nggak connect,” jawab Ruri.

Manis, lutchu juga cowok itu. Senyumnya menggemaskan. Lesung pipit di pipi kirinya menggoda. Tinggi. Menarik. Tapi… Forget It!! batinku masih terasa sakit!! Ruri malas membicarakan soal cinta!” ungkap Ruri dalam hati.

Saat ini Ruri sedang asyik menikmati hari-hari Ijo Lumut, alias berjomblo luthu dan imut, bareng temen-temennya saat remaja ini. Kini, tak ada cinta yang mengalir dalam relung hatinya. Hampa

Dua minggu setelah itu…

Halo, bisa bicara dengan Ruri..”

Ya, ini Ruri, siapa neh?”

Ini Rezky, masih ingat aku nggak? Ngh… kita kenalan di BSM. Tira yang kenalin aku ke kamu…”

Sekitar 20 menit mereka berbincang-bincang. Sudah beberapa minggu ini, Setiap jam 7 malam, hampir tiap hari Rezky menelpon Ruri. Hanya sekedar “say hello” atau menanyakan kabar Ruri hari ini. Maklum, Rezky sedang masa “PDKT” sama cewek keturunan Indo-Belanda ini.

Mmm…Ri, besok ada acara nggak?” ujar Rezky gugup

Kayaknya nggak ada, emang kenapa kak?” jawab Ruri santai sambil merebahkan tubuhnya ke sofa krem !!

Mmm…Rezky mau ajak jalan, Gimana.?”

Oke…jam berapa?, dimana?

Jam 4 Rezky jemput ke rumah kamu,” lanjut Rezky lega.

Tepat jam 4 sore, mobil berwarna hitam yang dikendarai cowok berkulit sawo matang ini tiba. Jaman sekarang, jarang ada cowok seperti dia. Janjian, datang tepat waktu.

Dengan T-shirt berwarna merah jambu dipadu dengan “mini skirt” di atas lutut, tampak serasi dengan syal berwarna merah jambu yang Ruri kenakan pada rambutnya yang lurus tergerai indah. Cantik. Sedang Rezky, Ia memakai k

6 Juli 2002


Berry, hari ini, Rezky, temen abangnya Tita “nembak” Ruri waktu kita lagi makan di restoran jepang. E… Ruri terima dia, itu juga karena Ruri pengen nglupain Esa, Si Brengsek!!!

Rezky,,… maaf, Ruri nutupin perasaan Ruri yang sebenernya… Tapi …. Ruri janji, Ruri akan belajar mencintai kamu…

aos putih dipadu dengan celana jeans hitam dan topi rusty

berwarna hitam bergaris putih. Rapih.


Sudah dua setengah bulan Ruri menjalani hari-harinya bersama Rezky. Ruri sadar, Rezky “lebih” dari Esa. Rezky sangat perhatian, baik, enak diajak curhat, dewasa, dan nggak “Playboy”. Tapi, hingga detik ini, itu semua belum menggugah perasaanya pada Rezky. Ia belum bisa membalas cinta tulus Rezky.

Seiring berjalannya waktu dan pergantian cuaca dari musim ke musim, dua minggu belakangan ini, Ruri merasa ada sesuatu yang hilang. Jam dinding menunjukan jam 7 malam, Ruri tak mendengar telepon berdering. Telepon dari Rezky, SMS pun tak ada. Terasa ada yang kurang. Yup! Ia kangen! ingin mendengar suara Rezky! walaupun hanya sekedar “Say Hello”. Sialnya, pulsa handphone habis, telepon rumah lagi ada gangguan, Cuma bisa terima telepon, tapi enggak bisa memanggil. Ruri ingin pergi ke wartel dekat rumah. Tapi, di luar sedang hujan deras disertai dengan petir y

28 September 2002


Berry kupikir,… aku tengah jatuh cinta… lagi!! sudah lama aku tak merasakan “rasa” seperti ini. Tapi aku belum pikun untuk mengingatnya. Aku masih dengan gamang mengenali rasa ini. Ya Tuhan, apakah benar ini cinta ? Kenapa ada sesuatu yang lain…sesuatu yang nggak pernah aku rasa…

Cinta yang kau beri beda dengan cinta yang dia beri. Hati yang kuberikan pun berbeda…. Rasa ini berbeda dan membuatku bingung…


ang menggelegar. Sekarang sudah larut malam. Ahh… apa daya, kutunggu fajar pagi menyingsing.


Matahari bersinar sangat cerah. Udara pagi ini cukup sejuk. Waktu menunjukan pukul 8. Tanpa berfikir panjang, setelah keluar dari pintu gerbang, Ruri pergi wartel Mbak Oom, yang letaknya berjarak 3 rumah dari rumahnya. Ruri ingin menelpon Rezky. Mendengar suaranya.

Halo, ada Rezky ?” ucap Ruri penuh semangat.

Ruri ya? Kenapa? Kangen Ya? Iya kan? Ngaku deh!” tanya Rezky penuh canda.

Mm…ya iyalah secara kamu pacarnya aku.” Jawab Ruri sedikit sewot.

Iya, iya, ada apa sayang ?” Rezky berkata penuh maaf.

Jalan yuk! udah lama nih kita nggak jalan bareng”.

Oke deh! ntar malem aku jemput ke rumah kamu jam 7 ya!! See tonight my sweaty !

Tepat jam 7, Rezky datang dengan mobil menterengnya. Entah mengapa, kali ini Ruri seneng sekali, Ruri genggam erat tangan Rezky, lembut. Ruri dan Rezky pergi ke sebuah taman kota. Di pojok taman, mereka duduk berdua, bercanda, tertawa, dan bercerita. Dalam keheningan kutatap wajah Rezky. Lama. Pikiranku berpusat padanya. Aku terpana melihat sepasang bola matanya. Kuterawang isi hatinya yang memancarkan ketulusan. Ketulusan hati untuk mencintai dan menyayangiku. Rezky membalas tatapanku dengan membawa seberkas cahaya, cahaya kasih sayang. Ingin sekali kulontarkan seuntai kata terima kasih. Terima kasih karena dia telah mencintaiku setulus hatinya dan segenap jiwa raganya. Terima kasih juga karena hanya ada aku yang ada dalam hatinya. Nggak akan pernah kucoba untuk menodai kejujurannya padaku.

Aku sayang kamu,” ungkapku dengan lembut.

Tapi Rezky nggak sayang kamu”.

Lho!”Ruri terkaget mendengarnya.

Dengerin dulu sayang, Rezky nggak sayang kamu, tapi Rezky sayang banget ma kamu” balas Rezky terdengar merdu ditelingaku.

Rezky memelukku, mendekapku mesra, hangat. Aku merasa nyaman berada didekatnya. Uuhh… rasa ini sangat dalam, hingga menyentuh relung hatiku. Perasaan ini tak Ruri temukan saat Ruri menikmati hari-harinya bersama Esa. Aku ingin setiap waktu seperti ini bersama Rezky. Semuanya terasa indah, kulihat ekspresi wajahnya. Pada hitungan detik, tiba-tiba saja, kecupan lembut rasa sayang menempel dikeningku. Hanya, runtuhlah duri-duri yang telah sekian lama menancap di dada Ruri.

































~~~∞۝∞~~~


Tofik Kusyaian



Perpisahan



Langit mendung

Cilacap menjelang sore terdengar isak tangis di kamar tengah sebuah rumah mungil dan sederhana. Seorang perempuan menangisi nasibnya atas perjodohan dirinya dengan seorang pengusaha ternama seorang lelaki yang tidak dicintainya. Kira-kira sekitar 20 menit yang lalu, sebelum isak tangis terdengar, aku mendengar kakaku bertengkar dengan ibu atas semua perjodohan itu.

Saat jarum jam tepat menunjukan arah jam dua terdengar suara keras ibu memanggilku dari arah kamar kakak, dan ibu bertanya ”kakak kamu mana”…? Dengan raut muka cemas Ibu memandangku, aku hanya bisa menggeleng tanda tidak tahu kemana kakak pergi. Terlihat sepucuk surat terselip di antara bantal dan kasur, Ibupun mengambilnya, membukanya dan membacanya…


Assalamu’alaikum

Ibu maafkan anakmu ini, Susi nda bisa menerima perjodohan itu, Susi tau Ibu ingin memberi yang terbaik buat Susi tapi Susi nda cinta dengan calon Ibu,..

Susi sudah punya pilihan sendiri… Walau Ibu tidak menyetujui hubungan kami, Susi akan tetap dengan pilihan Susi...!

Sekali lagi maafkan Susi… yang tidak bisa menjadi anak baik dan putuh sama Ibu.

Maafin juga anakmu ini yang tidak bisa ngebahagiain Ibu….?

Wasalam…

Anakmu

Susi


Seketika seraut muka keriput cemas berubah sedih meratapi kepergian anaknya, di wajahnya tersirat juga suatu penyesalannya yang telah memaksakan kehendaknya itu.

Tiga hari telah berlalu…. Ibu duduk diam di ruang tamu terlihat termenung dan merenung menyesali semua yang telah terjadi, tiba-tiba dia berdiri dan berjalan mendekati sebatang telepon genggam di atas meja dan mengambilnya terlihat di layar sebuah nomor tujuan ya… itu nomor anak perempuanya (kakaku). Akhirnya ibu menyadari kesalahan yang diperbuatnya, Ibu menelepon kakak dan menyuruhnya untuk segera pulang setelah dia berkata mau merestui hubungan kakak dengan pilihanya itu.

Keesokan harinya tumben Ibu bangun pagi-pagi sekali telihat di wajahnya suatu kebahagiaan dan pengharapan.,,Oh ternyata kakaku janji akan pulang hari ini, akupun ikut bahagia mendengar berita itu, bakalan rame lagi rumah ini bila kakak pulang.

Ibu menuju dapur dan mulai sibuk menyiapkan bahan-bahan buat masak hari ini, ternyata ibu akan masak enak hari ini mungkin untuk menyambut kepulangan anak perempuanya. Sudah terlihat 3 hari ini Ibu sibuk sekali dengan pekerjaan-pekerjaan rumah tanpa bantuan kakaku sedangkan aku tidak banyak bisa membantunya hanya pekerjaan ringan-ringan saja yang bisa aku lakukan untuk membantunya itupun jika aku tidak telat bangun karena pagi-pagi aku sudah harus mandi dan bersiap-siap pergi ke sekolah. Ketika ibu sedang masak tiba-tiba terdengar bel rumahku berbunyi Ting…Tong…Ting…Tong…! Ibu langsung menghentikan acara masaknya dia langsung bergegas menuju pintu depan dan membuka pintu, ternyata tamu yang diharap dan yang ditunggu sudah datang, kakaku telah pulang kembali ke rumah ini, Ibu langsung memeluk erat tubuh anaknya seketika suasana pun serasa mengharukan dan membahagiakan aku pun langsung berlari-lari kecil menyambut kepulangan kakak perempuanku.

Sebulan kemudian Senin, Kliwon 25 Februari 97 di sebuah rumah kecil dan sederhana terlihat di depan pagar bambu sepasang janur kuning yang indah menjulang tinggi melengkung di kanan kiri pagar bambu, suasananya pun terlihat rame dari luar. Di dalam aku menatapnya lekat-lekat seolah-olah inilah terakhir kalinya aku diberi kesempatan untuk melihat orang yang kukenal, orang yang kusayangi, akankah perasaan itu benar? Aku kadang-kadang meragukanya, meragukan perasaanku sendiri.

Wahai bidadari rumah kecil dan sederhana ini, kemanakah kau kan pergi? Apakah kau tega pergi meninggalkan kami? Untuk membangun istanamu sendiri”. Tiba-tiba semua pertanyaan-pertanyaanku bubar dikagetkan suara kakak…

Cantik ga?” katanya padaku

Cantik” kataku sambil mengangguk pelan

Wanita yang di depanku ini adalah bidadari dalam rumahku iya,,,dia adalah kakaku, orang yang selama ini menjadi penasehat selain Ibuku, orang yang selalu menyayangiku. Ia mengenakan kebaya putih berhiaskan manik-manik yang sangat indah dengan pakaian dan riasan adat Jawa. Sebentar lagi ia akan memulai hari barunya, jika itu bukan hari penting baginya mungkin aku akan menggodanya dengan mengatakanya mirip lengger atau lebih parahnya lagi mirip badut Ancol. Tapi aku tak sanggup, tak sepatah katapun keluar dari mulutku, aku hanya bisa merasakan perasaan yang semakin lama semakin perih, sedih dan semakin nyata, dengan tanda mataku yang terlihat berkaca-kaca, seakan sesuatu yang telah lama bersama akan ada yang mengambilnya dan membawanya pergi dari tengah-tengah kami penghuni rumah kecil dan sederhana ini. Mungkin rumah kami ini akan sepi dan kosong dalam kehampaan tanpa keberadaanya yang selalu riang.

Aku keluar dari ruangan itu, aku memperhatikan orang-orang yang tengah bersiap-siap menyambut Perhelatan Akbar itu, dan memperhatikan rumah kecil dan sederhana ini yang telah dihias sedemikian rupa, kualihkan pandanganku menerobos segala bentuk kepala ke arah jam dinding, sebentar lagi acara akan segera dimulai.

Aku menghela napas dan tersenyum kecut, apakah aku tidak bahagia? Aku terus berjalan menuju ke ruang tengah menemukan Ibu sedang menikmati secangkir teh panas, mungkin untuk menenangkan hatinya, sebentar lagi acara itu dimulai. Ibuku sudah tua tampak sangat rapuh, Ia hanya duduk melamun dan kadang-kadang memberi perintah keorang-orang untuk mengerjakan ini itu. Apakah Ibu bahagia? Apakah Ibu merasa semua tugas sebagai seorang Ibu telah terpenuhi? kadang aku melihat seberkas cahaya kesedihan di mata Ibu, kesedihan apakah yang tergambar di mata Ibu? Seorang ibu yang telah membesarkan anaknya sendirian dengan susah payah, yang pada akhirnya harus rela melepaskan anak yang sangat Ia cintai kepada pria lain yang tidak pernah kenal baik sebelumnya.

Ibu tersenyum melihatku, memberi isyarat supaya aku duduk di sampingnya, “Cantik sekali yah anak Ibu hari ini…” katanya padaku sambil memandangi kakak yang jauh di sebelah sana, aku hanya bisa bilang ”Ia” dan mengangguk mantap. Air mata Ibu menetes tapi Ibu berusaha menutupi tangis kesedihan dan kebahagiaanya itu, Ia mengusap air matanya dengan jemarinya yang lembut.

Aku hanya bilang “Ibu jangan nangis,, nanti dandanan Ibu rusak”, kataku. Ibu tersenyum dan mencubit pipiku, mungkin pada waktu itu hanya itu yang bisa aku ucapkan untuk menghibur Ibu. Ini terasa berat bagiku, apa lagi bagi Ibuku, melepas orang yang kita sayangi tidak akan terasa semudah itu. Kami hanya dua bersaudara, hanya aku dan kakaku jika kakak pergi tingalah aku yang menjaga Ibu seorang diri. Aku mungkin akan merindukan masa-masa bahagiaku bersama kakak, masa di saat kami bermain bersama, saling ledek dan saling cari perhatian dari Ibu, masa dimana aku diantar ke sekolah, aku pasti akan rindu saat-saat itu.

Kakakmu telah menemukan belahan jiwanya, kita harus bahagia untuknya, nanti kamu pun akan menyusulnya” kata Ibu dengan senyum kebahagiaan menghiasi wajah keriputnya. Aku hanya diam tersenyum, sambil memperhatikan orang-orang yang hilir mudik di depan kami yang masing-masing memancarkan rona bahagia.

Acara sebentar lagi dimulai. Tampak olehku pria yang menjadi pusat perhatian hari ini, Wahai Adam,,, kemanakah kau akan membawa bidadarimu hari ini? Ke surgakah? Atau ke sebuah isnanamu yang telah kau bangun?

Beberapa rangkaian upacara adat pernikahan telah selesai dilakukan, terdengar tepuk riuh menggema dari berbagai penjuru saat penghulu mengucapkan kata “Sah”. Terlihat wajah-wajah yang terharu, lega, bahagia, tampak di wajah mereka.

Ribuan doa dan ucapan selamat membanjiri kami sekelurga, aku hanya berpikir apakah suatu saat nanti aku juga akan menjalani semua ini dan rela melepas apa yang kita punya demi apa yang kita cintai, sekali lagi aku berpikir aku tidak rela melepas dan pergi meninggalkan apa yang kita punya karena aku masih punya Ibu yang aku sayangi, yang aku cintai, rasanya aku ingin memeluk Ibu erat-erat dan membisikan di telinganya kalau aku sangat menyayanginya dan tidak akan berpisah darinya seperti Ayah yang telah meningalkan Ibu demi wanita lain dan juga seperti kakak yang mungkin akan pergi bersama lelaki itu meninggalkan Ibu di rumah yang kecil dan sederhana ini sendirian dan kesepian, aku tidak akan meninggalkan Ibu, aku pasti aka membawanya pergi ke surgaku dan memboyongnya menuju ke istanaku.

Aku berdiri di samping kakak tiba-tiba tangan kokoh bersih seperti terulur keluar dari setelan jas pengantin hitam lekat di atas kain batik yang terselipkan sebuah keris di punggungnya, tangan itu mengusap-usap rambutku dan pipiku senyum bahagia tergambar di wajah gagahnya. Lagi-lagi aku berpikir ingin kelak nanti gagah seperti dia bahkan lebih dari dia yang akan membawa kembali bidadari rumah kecil dan sederhana ini pulang kembali ke sini, biar tak sepi lagi dan kembali seperti dulu lagi.

~~~∞۝∞~~~

















Prima Nirmala D



Cintamu dan Air Mataku



Segala berawal dari ketidaksengajaan. Aku bertemu dengannya ketika aku sedang sendiri. Yah, aku jomblo. Lupy, nama cowok itu, yang mampu meluluhkan hatiku yang telah lama membeku. Dia berasal dari kota Batang, kira-kira empat puluh lima menit dari kota Pekalongan. Anak ketiga dari tiga bersaudara. Selisih umur kami terpaut lima tahun. Di mataku dia pria yang baik, dewasa, perhatian, sederhana dan amat sayang padaku. Dia bekerja sebagai seorang TNI-AD di kota Purbalingga.

Tomy, adik angkatku, yang mengenalkanku pada Lupy. Sore itu, Purbalingga amat cerah. Aku diajak jalan-jalan ke alun-alun oleh Tomy. Di sinilah secara tidak sengaja aku bertemu dengan Lupy.

Hai, kenalkan, aku Lupy,” sambil mengulurkan tangannya.

Ima.”

Ima asli mana?” tanyanya.

Cilacap!” jawabku.

Dengan sabar dia berusaha membuka pembicaraan denganku. Hatiku masih saja bergeming ketika dia mulai mengajakku bercanda. Pertemuan perdana yang bagiku tidak berkesan dan sangat membosankan. Itulah kesan pertamaku mengenalnya. Cowok yang sok ingin dekat denganku.

Malam harinya, dia meneleponku. Aku kaget karena seingatku aku tidak pernah memberikan nomor teleponku padanya. Ngobrol kesana-kemari, tanya tentang keluarga, hobi, kuliah, lengkaplah. Hal ini berangsur-angsur terjadi. Hampir setiap malam dia menelponku. Tadinya aku tertutup, namun sedikit demi sedikit aku mulai bisa membuka diri.


2 September 2005

Aku resmi jadian dengannya. Saat itu aku hanya berpikir ada seseorang yang bisa aku ajak berbagi, baik senang maupun sedih. Rasanya unik, lucu, aneh dan jujur, sulit bagiku menerimanya sebagai kekasih. Karena dia bukan tipe cowok yang aku inginkan. Sampai-sampai aku malu mengenalkannya pada orang-orang terdekatku. Entahlah, kurang percaya diri rasanya mengakui dia kekasihku.

Hari itu juga dia meyakinkanku bahwa dia benar-benar serius padaku. Esoknya, 3 September 2005 aku diajak main ke rumah orang tuanya di Batang. Pikirku saat itu, daripada bengong di rumah. Aneh memang, tapi itulah perasaanku yang masih datar padanya. Perjalanan menuju Batang memakan waktu kurang lebih dua setengah jam. Sepanjang jalan, Lupy berusaha menghiburku dengan canda tawa atau obrolan-obrolan lucu. Aku hanya menjawab iya dengan nada tidak semangat.

Pukul 12.00 aku tiba di rumahnya. Disambut oleh ayah ibunya. Kami mengobrol. Aku diajak makan, lihat-lihat sekeliling rumah. Lumayan, membuatku sedikit ceria. Ayahnya komunikatif dan supel, berbeda dengan ibunya yang terlihat judes dan tidak begitu meresponku. Aku mulai bosan ketika kulihat ibunya masih cuek padaku. Namun dengan sabar Lupy menghiburku. Ayahnya juga seperti ingin menutupi sikap ibunya yang aneh padaku.

Pukul 16.00 aku pulang. Perjalanan pulang terasa amat melelahkan. Aku tidak banyak bicara, sesekali saja aku bertanya. sudah sampai mana, daerah apa. Dengan sabar, Lupy menjawab sambil mengajakku beranda agar aku tidak mengantuk.

Di sepanjang jalan aku berpikir, benarkah dia serius denganku? Benarkah dia sayang padaku? Aku hanya bisa terdiam.

Pukul 18.30 aku sampai di Purbalingga. Sebenarnya aku ingin pulang, tapi karena waktu sudah malam, akhirnya aku putuskan untuk menginap di rumah adik angkatku. Kulihat Lupy juga lelah.

Terima kasih karena Iama sudah mau aku ajak main ke rumah, walau sekadar singgah, senang rasanya. Maaf apabila sikap ibuku aneh. Beliau memang begitu. Mas harap, Ima memakluminya,” katanya sambil memegang tanganku.

Aku hanya tersenyum dan mengangguk. Kulihat Lupy amat tulus mengatakannya. Aku mulai sedikit yakin dia serius dengan ucapan dan niatnya.

Hari-hari setelah berlalu seperti biasa. Dia sering menjemputku pulang kuliah. Suatu hari, aku beranikan diri mengenalkan Lupy pada Mamah. Di ruang tamu, aku kenalkan dia. Mamahku tersenyum kecut melihatnya. Hatiku tidak enak melihatnya. Lupy meyakinkanku, bahwa apapun nanti, dia tetap menyayangiku. Bahkan sikap ibuku yang kurang bersahabat itu tidak membuatnya jera. Hampir tiap malam Lupy datang ke rumah. Pernah satu ketika Mamah memarahiku karena aku terlalu dekat dengannya. Itu dilakukan di depan Lupy. Dia tetap sabar. Walau hatiku tidak enak, dia tetap tersenyum padaku.


11 September 2005

Inilah kali kedua dia mencoba membuktikan keseriusannya padaku. Aku diajaknya main ke Jogja, tempat neneknya. Di sana aku disambut dengan antusias. Neneknya baik, kedua kakaknya yang tinggal bersama juga baik padaku. Aku diajak main ke Malioboro dan ke pantai. Hal ini membuatku kerasan dan sayang pada keluarganya. Mereka seperti ingin mengajakku masuk ke lingkungan kaluarga. Inilah yang membuatku berbesar hati dan senang pada mereka.

Dua hari di Jogja membuatku semakin yakin bahwa Lupy memang serius padaku. Sampai-sampai dia mengaku tunanganku. Memang mungkin telalu cepat. Tapi dia semakin perhatian padaku. Anehnya, aku masih ragu. Kendati begitu, dia tetap yakin pada keseriusannya. Keluarganya, kecuali ibunya, makin dekat denganku.

Satu setengah bulan berlalu, aku mulai dapat menerimanya. Rindu bila lama tak bertemu dengannya. Dan ketika hubungan kami beranjak dua bulan, aku yakin aku menyayanginya. Namun suatu sore dia datang dan berkata bahwa dia mendapat tugas di Papua selama satu setengah tahun. Aku amat sedih. Tanggal keberangkatannya sudah ditentukan, dua hari setelah lebaran.

Persiapan dilaksanakan. Hingga lebaran tiba, dia singgah dan bersilaturahmi ke rumah. Hari lebaran kedua aku diajak ke rumahnya. Dengan ijin Mamah yang kudapat dengan susah payah, aku bisa silaturahmi ke tempat keluarga Lupy.

11 November 2005

Tanggal inilah Lupy meninggalkanku. Saat ini, aku sadar aku membutuhkannya. Aku menangis. Sia-sia saja Lupy mencoba membujukku.

Perjalanan ke Papua memakan waktu lima belas hari. Selama enam bulan setelah itu, komunikasi kami masih lancar. Keluarganya, baik ayahnya di Batang atau keluarganya di Jogja, masih terus menghubungi dan menyemangatiku. Beberapa kali aku ke rumah neneknya di Jogja. Mereka bagai pengganti Lupy untukku.

Memasuki bulan ketujuh, komunikasi mulai tersendat. Dia mulai jarang mengangkat terleponku, membalas sms-ku, bahkan hp-nya sering tidak aktif. Kucoba bertanya pada teman-temannya, jawabannya tidak memuaskanku.

Aku merasa akan kehilangan dia. Dugaanku benar. Ada perempuan lain di hatinya. Tika, seorang wartawati yaag sedang dinas kontrak di Papua.

Mulanya aku tak memercayai berita ini. Suatu ketika aku menelepon Lupy dan Tikalah yang menangkat teleponku. Aku begitu sedih. Lupy sudah tidak mau meneleponku, bahkan mengaku sudah memutuskanku. Aku hanya bisa diam.

Ketika akhirnya masa tugas Lupy usai, aku berniat menjemputnya di Pelabuhan Tanjung Emas, Semarang. Kagetnya aku melihat Tika juga ada di sana. Lebih kaget lagi karena ibu Lupy sudah mengenal Tika, bahkan mendukung hubungan Tika dengan anaknya karena Tika sudah bekerja, berbeda denganku yang masih kuliah. Lagi-lagi, aku hanya bisa diam.


18 Maret 2007

Aku bertemu Lupy lagi. Dia lebih kurus sekarang. Kucoba bertanya tentang Tika padanya.

Ima sudah dengar kan? Seperti itu adanya. Maafkan Mas. Mas banyak dosa pada Ima.”

Ima pingin denger dari Mas sendiri. Mengapa bisa begini, Mas?”

Dia hanya tertunduk. Dia mengambil barang-barang yang tertinggal di rumahku, lalu pulang.

Satu jam kemudian, dia meneleponku.

Aku mencoba mencintai Tika karena dosaku pada ibuku,” akunya.

Bagai disambar petir rasanya.

Mas, kapan kita putus?”

Dia tidak menjawab. Hanya maaf yang selalu terlontar dari mulutnya.

Sampai cerpen ini kutulis, aku masih sayang padanya. Walaupun kini ada cincin emas melingkar di jari manisnya. Aku hanya bisa berkata, tidak ada yang abadi. Cinta itu tak bisa dibayangkan, hanya bisa dirasakan. Janji, tinggallah janji.

Untuk Lupy, semoga bahagia dengan pilihanmu. Inilah kenangan terindah sekaligus menyakitkan dalam hidupku. Karena cintamu, aku tertawa. Karena cintamu, ada air mata.



-Mahadewi yang Terluka-

LUPY

[Lulus – Prima]

dalam kenangan kelam…


~~~∞۝∞~~~



Ika Ariyani



Hujan di Desember



Hujan! Aku begitu menyukai hujan. Diiringi dengung angin yang bertalu di langit mendung. Saat Desember ini aku jadi mengharapkan musim semi di Paris atau hangatnya mentari di Jepang. Ah, mungkin karena aku sedang putus asa karena penyakit yang menderaku.

Aku tak menyukai rumah sakit ini, rumah sakit penderita AIDS. Rasanya tak ada lagi kehidupan sejak aku tahu diriku mengidap penyakit mematikan itu. Kudapatkan penyakit ini dari Bunda yang telah sepuluh tahun meninggalkanku. Sungguh, aku ingin hidup normal seperti layaknya gadis 19 tahun lainnya. Aku ingin seperti mereka. Jalan-jalan di mal, ngecengin cowok cakep, belajar di sekolah favorit atau mengembangkan cita-citaku sebagai model. Namun virus mengerikan ini terus membuatku menderita. Segala keceriaan yang menjadi ciri khas diriku hilang. Hidup ini hampa tak berarti, tak berguna di mata orang lain yang selalu menganggapku rendah. Ayahku bahkan tak menginginkan aku lagi. Dia membuangku di tempat mengerikan ini, lalu menikah lagi dengan wanita matre itu. Aku membencinya. Kadang-kadang aku berpikir kalau Ayahlah yang membunuh Bunda. Ah…, begitu kacaunya pikiran ini.

Telah jenuh aku memikirkan nasib diriku yang malang. Akankah ada orang yang mengasihiku, menghangatkan jiwaku yang kering ini? Oh Tuhan, masih adakah cinta yang tersisa untuk diriku yang terbuang? Tiba-tiba seorang suster datang dan membuyarkan lamunanku.

Mba Fina, ayo makan dulu!”

Oh, ya suster, terimakasih banyak!”

Oh, saya lupa cucian Mba Fina belum saya ambil, tapi sekarang hujan!”

Ya sudahlah, Sus, biarkan saja, nanti saya yang ambil.”

Tapi, Mba Fina kan lagi sakit!”

Gak apa-apa, Sus. Bentar lagi saya juga keluar dari sini.”

Kapan Mba? Wah, nanti staf RS di sini akan merasa sepi dong, Mba!”

Ya, nanti kapan-kapan saya toh bisa main-main ke sini!”

Syukurlah Mba, bisa kumpul lagi sama keluarga!”

Oh ya!”

Keluarga!! Keluarganya siapa? Siapa yang peduli lagi padaku? Lagipula, kemana aku setelah keluar dari tempat ini? Padahal di sinilah kehidupanku berarti. Semua dokter, juga suster-suster baik padaku. Mungkin karena niatku yang selalu ingin menambah teman. Di sini aku merasa tak sesunyi dulu, mereka telah menerimaku juga selalu memberi semangat untukku.

Setelah satu tahun kuterkurung dalam kekalutan di rumah sakit ini, akhirnya dapat kuhirup udara kebebasan. Rasanya semua penat di benakku telah hilang. Aku salah telah menganggap orang-orang di rumah sakit mengucilkanku. Buktinya aku malah dipekerjakan di rumah sakit ini sebagai perawat oleh dokter Rudi, anak dari pemilik RS ini. Dia baik padaku. Aku tak ingin mengecewakan kepercayaannya padaku. Aku berusaha keras melayani para penderita AIDS yang merasa terbuang dari muka bumi. Tanpa kusadari muncul perasaan khusus pada dokter muda itu. Setelah hatiku hancur berkeping-keping dua tahun lalu, saat Rino meninggalkanku.

Fin, rasanya aku tak bisa mempertahankanmu lagi!”

Tapi kenapa, No? Kenapa??”

Aku terus mncari jawab mengapa Rino meninggalkanku. Padahal aku sangat mencintainya. Dia pun selalu menyayangiku, sampai akhirnya penyakitku dia ketahui. Bahkan kalau aku meneleponnya pun, dia tak mau membalasnya. Dia yang seharusnya memotivasi untuk kesembuhanku malah meninggalkanku. Rino, kau benar-benar jahat. Hingga akhirnya gara-gara dia, aku masuk Rumah Sakit Jiwa khusus penderita AIDS.

Memang begitu sulit untuk melupakan cinta pertama. Banyak kenangan-kenangan manis yang sulit kulupakan dari otak, sampai-sampai aku menjadi gila atas cinta yang menyeramkan itu

Berbeda dengan dokter Rudi, dia terlalu memperhatikanku. Entah cinta dokter pada pasiennya, atau persahabatan dokter dengan perawatnya. Aku pun mulai memperhatikan dirinya. Ya Tuhan, akankah dia tahu rasa di hatiku?? Mungkinkah perasaan ini tak bertepuk sebelah tangan?

Fin, mau pulang bareng?”

E…e…e, nanti aja, Dok. Soalnya masih ada pekerjaan lain!”

Udahlah, Fin. Pekerjaan itu bisa dikerjakan nanti!”

Tapi, Dok…”

Udahlah, gak usah panggil dokter kalau gak lagi tugas. Ayo dong, abis ini kita makan malam bareng. Kamu lapar kan?”

Ah, Rudi, tapi, ntar gimana?”

Udah, kamu kan bawahanku, jadi kamu harus nurut ama bosmu yang ganteng ini ya!”

Yes, bos!”

Akhirnya aku pergi bersama Rudi. Ya, kami makan, juga nonton. Pokoknya malam itu aku merasa sangat bahagia bersamanya. Aku merasa sangat berharga di mata dokter Rudi.

Waktu berlari begitu cepat, hubunganku dengan dokter Rudi semakin akrab. Bahkan semua staf RS menggunjingkanku dengan dokter Rudi. Rudi yang kini selalu mendampingiku. Rudi kini adalah tumpuan terakhirku. Dia beri hari-hari indah dalam hidupku. Dia kekasih yang kudamba selama ini. Dia pengobat rasa perihku di masa yang lalu.

Pada suatu hari seorang anak buah ayahku datang ke RS untuk mengabari bahwa ayahku telah tiada. Bagai petir di siang bolong, kudengar berita yang mengerikan itu.

Aku pergi untuk memberikan penghormatan yang terakhir kalinya. Walaupun masih ada luka yang perih di hatiku. Saat Ayah membuangku ke RSJ khusus penderita AIDS. Sukar kulupakan kata-kata Ayah yang sangat kejam.

Dasar anak tak tahu diuntung!! Pergi saja kau dari sini atau kukirim kau ke RSJ!”

Tapi Ayah…”

Sudahlah!! Ayo anak jalang, kutitipkan kau di RSJ itu!”


Begitu tersiksanya batinku. Saat semua perasaanku hancur karena Rino, Ayah malahan menambahi garam dalam lukaku. Terang saja aku menjadi tak waras atas penderitaan yang kuterima itu.

Saat kuhadiri pemakaman ayahku, aku bertemu ibu tiriku, Tante Siska. Tampak wajah serakahnya. Dia merasa menang atas kematian Ayah. Dia berharap harta kekayaan ayahku akan dia kuasai, lalu dibawa pergi bersama kekasih gelapnya.

Pengacara Ayah mengajakku ke kantornya untuk membaca surat wasiat dari Ayah. Tentu saja bersama ibu tiriku yang serakah itu.

Oke, ini adalah surat wasiat dari Bapak Tresno, asli ditandatangani oleh beliau almarhum.”

Langsung sajalah Pak, apa gerangan isinya? Aku sudah tak sabar mendengarnya!” dengan nada sinis Tante Siska menyuruh sang pengacara.

Ternyata tebakannya benar. Dua pabrik di Bandung menjadi miliknya. Satu perusahan konveksi di Bandung pun menjadi kepunyaannya, beserta dua rumah di Cirebon dan Jakarta. Aku hanya mendapatkan sebuah rumah di Jakarta, itu pun rumah kecil.

Eh, terang saja suamiku memberikan semuanya kepadaku. Aku kan bebas dari virus HIV!”

Aku hanya melewatkan perkataanya itu. Aku pikir dia kini telah mndaptkan segalanya, semua harta Ayah. Namun pengacara itu memberikan sebuah surat untukku, dari almarhum ayah.


Untuk anakku Finanza,

Maafkan ayahmu ini Nak, maafkan. Walaupun kau memang bukan anak kandungku, tapi aku tetap menyayangimu.

Maafkan ayah yang telah menitipkanmu di Rumah Sakit. Mungkin itu karena pengaruh Siska. Tapi Sayang, bersediakah kau memaafkan ayahmu yang picik ini? Siska jugalah yang selalu menekanku, hingga aku tahu dia punya lelaki simpanan. Dia tak mencintaiku, dia mencintaiku hartaku saja. Sekali lagi maafkan aku Nak, maaf.

Aku ingin kau mengerti bahwa kau tetaplah anakku. Janganlah kau bersedih atas bunyi surat wasiatku ini. Siska telah mengubahnya, juga mengadali aku.

Kau adalah anakku

Maaf dari ayah

Ayah? Aku tercengang melihat tulisan di lembaran ini. Menyakitkan, sampai sesak dada ini. Aku tak percaya, ayahku bukan ayah kandung. Lalu, siapa sebenarnya aku? Sungguh malang benar nasibku. Tak tahu lagi dari mana asalku.


Latar belakangku tak jelas. Aku hanya bisa meratap. Mungkin lebih baik aku tak mengetahui siapa aku, siapa sebenarnya keluargaku.

Aku kembali ke mess perawat di tempatku bekerja. Dengan tangis sedih dan sejuta bayang hitam menelusuri kalbuku. Aku tak tahu harus berbuat apa. Benarkah aku ini anak tersial di dunia?

Saat kulewati jalan nan sempit ini, di pinggir jalan kumerasa sendiri, sepi. Hanya kekalutan yang kujumpai dalam imajinasiku.

Saat kuberjalan di depan ruko-ruko itu, aku tak tahu mengapa kakiku terhenti di hadapan sebuah restoran megah. Aku melihat sesosok tubuh yang sudah kukenal. Ya, Rudi. Rudi bersama cewek yang belum kukenal. Hatiku bertanya, siapa gerangan gadis manis yang bersama Rudi itu? Tak lama kemudian Rudi dan gadis itu keluar.

Fin…!” muka Rudi terlihat kacau, dia kaget melihat diriku.

Rudi, siapa gadis ini?”

Dia…, tunanganku, Farah.”

Rudi, kau kejam! Kau tahu perasaanku, kau laki-laki bajingan!”

Aku tak sadar mengucapkan kata-kata kasar seperti itu kepada Rudi, Rudi yang aku sayangi. Aku tak menyangka, dia yang selalu memberikan kehangatan, semangat, ternyata semua itu bohong, bohong…, pembohong!!

Oh…Tuhan, hujan membasahi tubuhku. Aku hanya bisa menguras air mata sedih. Semua yang kucintai pergi.

Dulu saat hujan seperti Bunda meninggal. Saat Desember dulu Rino pergi. Kini hari yang sama saat hujan di Desember ayahku meningal dan pujaan hatiku pergi dengan sengaja. Menoreh luka di hatiku. Di saat aku berusaha menutup luka, dia malah memberi duri dalma hatiku. Tapi apa guna kasih sayang yang tercurah? Apa guna rayuan manis dari mulutnya?

Mungin lebih baik kusendiri. Hanya dalam kenangan hujan di bulan Desember yang membawaku dalam kehampaan.


~~~∞۝∞~~~

Neng Gesty P



I Love You, Ya… Gitu Deh!



Mobil itu berhenti tepat di depan pintu pagar rumah. Tiar keluar dari mobil, disusul seorang gadis yang luar biasa cantik. Pandu, yang sedang menyiram bunga, terpesona melihat sosok berjilabab lebar warna biru langit yang sedang berbicara dengan Tiar, adiknya itu. Dihentikannya aktivitasnya. Pandu malu kalau gadis itu melihatnya sedang menyiram bunga Bunda. Idih, apa kata dunia?

Baru kali ini Pandu tertarik pada teman adiknya yang rata-rata akhwat berjilbab lebar. Sebelumnya Pandu acuh, bahkan menurutnya teman-teman Tiar itu aneh.

Aku pergi dulu ya, Insya Allah nanti aku telpon. Salam buat Ibu.”

Mereka akan berpisah. Sebelumnya, jabat tangan dan cium pipi kanan-kiri. Gadis itu sempat melirik Pandu yang langsung memasang senyum manis, tapi si Gadis tidak membalas. Dia malah tertunduk dalam, seakan menyesal melirik Pandu.

Assalamualaikum warah matullah…” Tiar melambaikan tangan setelah membalas salam. Mobil itu mulai bergerak membawa si Gadis dan meninggalkan Tiar yang dengan riang menuju rumah. Tiar kaget melihat Pandu yang berdiri tak jauh darinya dengan tatapan masih tertuju pada mobil tadi. Tiar berdehem dan mengucap salam. Pandu tersentak, dengan cepat dikuasainya dirinya. Tiar mencium tangna Pandu sambil tersenyum. Ketika Tiar akan melangkah, Pandu memegang tangan adiknya.

Siapa tuh cewek, cantik banget ya?” tanya Pandu dengan nada kagum dan memuji.

Yang mana?” dengan lagak bodoh Tiar membalikkan pertanyaan.

Yee, balik nanya lagi. Barusan, yang jalan dan ngobrol sama kamu. Siapa lagi, emang?”

Oh, itu mbak mawar.”

Nitip salam ya, bilang dari Pandu,” Pandu menepuk dadanya.

Ga bisa, dia udah mau…” kalimat Tiar terputus oleh ucapan Pandu.

Udah tau, dia kan mau lulus sebentar lagi. Mas tau, kamu kan sering ngobrolin kehebatan dia sama Ibu dan Mas suka nguping. Hari ini Mas lihat sendiri, bukan hanya cerita dari kamu.”

Tiar keki. Mahasiswi Sastra Indonesia itu semula hendak menjelaskan bahwa Mawar akan segera menikah. Seharian tadi mereka sibuk memesan busana pengantin Islami dan pernak-perniknya.

Ya udah, terserah Mas Pandu aja,” Tiar meninggalkan Pandu. Semula Tiar menyesal tidak menjelaskan status Mawar pada kakaknya, tapi biarlah. Toh Pandu tidak mau mendengar perkataannya.

Emang nggak salah kata orang. Apapun namanya, Mawar tetap aja harum. Udah cantik, pintar lagi. Coba kalo jadi gebetan gue…” gumam Pandu sambil membayangkan wajah Mawar.





Pandu jatuh cinta! Memang bukan berita hangat, apalagi menggemparkan. Tapi ini mengejutkan. Pemuda cute yang suka gonta-ganti pasangan itu jatuh cinta pada pandangan pertama. Anehnya lagi, seleranya berubah drastis. Biasanya Pandu suka cewek berambut panjang lurus, panjang tergerai. Namun sejak sore itu, favoritnya adalah gadis berjilbab panjang menutup dada dan memakai rok panjang. Seperti adiknya. Tidak seronok dan banyak polesan.

Bukan hanya Bunda yang heran dengan perubahan Pandu. Ita, si Sulung, pun bingung dengan ulah adiknya itu. Pandu jadi lebih betah di rumah dan senang sekali mengangkat telepon. Alasannya, supaya bisa menjawab bila Mawar menelepon dan bisa mengobrol dengan Mawar. Padahal Mawar tidak pernah menelepon Tiar.

Sore itu Pandu duduk di teras, entah apa yang ditunggu. Inilah kebiasaan baru Pandu, menunggu Tiar pulang kuliah.

Ga jalan sore ini?” Ita menepuk pundak Pandu. Pandu menggeleng lesu.

Males, Mbak. Lebih enak di rumah, sambil nunggu seseorang!” jawab Pandu enteng. Ita tersenyum. Ini saat tepat untuk tahu alasan perubahan adiknya.

Nunggu siapa sih? Pacar baru, atau gebetan baru? Kok Mbak nggak dikasih tahu?”

Nunggu Mawar, temennya Tiar. Orangnya cantik banget. Pas lihat dia, Pandu langsung suka. Moga aja sore ini dia datang lagi, Mbak,” tanpa malu-malu Pandu langsung mencurahkan isi hatinya. Ita ingin tertawa mendengar alasan tersebut. Ternyata pikiran Ita tidak meleset, perempuan selalu bisa mengubah Pandu.

Akhwat dong?” tanya Ita.

Ya.., gitu deh!”

Ada ide melintas di pikiran Ita. Ia sudah lama kesal dengan rambut gondrong dan gaya dandanan Pandu. Sekarang saat tepat untuk membuat Pandu rela memotong rambut dan mulai berpenampilan rapi.

Mbak kasih tau ya, jarang akhwat yang suka sama cowok gondrong. Kesannya seram dan galak. Saran Mbak, biar pedekatenya lancar, pangkas rambut kamu dan penampilan harus rapi.”

Pandu terbelalak kaget. Padahal ia amat rajin merawat rambut lurus nyaris sebahunya. Saran Ita benar-benar menurunkan semangat.

Tapi ini khas Pandu. Masa vokalis band FLUID ga macho?!”

Itu kan cuma saran. Tapi liaht Aa Gym, pake sorban kan? Istrinya akhwat tuh. Ustad Jefry, Ustad Arifin Ilham, mana ada yang gondrong?”

Pandu diam, memikirkan ucapan Ita. Apa iya Mawar suka cowok rapi dan tidak gondrong?

Benar, tuh, Mas! Mbak Mawar suka cowok yang rambutnya belah dua, rapi dan santun!” Tiar menguatkan argumen Ita. Rupanya sedari tadi ia nguping. Pandu jadi bingung. Dipandanginya kakak dan adiknya bergantian. Tangannya tak lepas dari kepalanya yang berambut hitam lebat.




Siang itu benar-benar kejutan bagi seisi rumah. Pandu pulang kuliah dengan rambut tapi dan dibelah tengah. Bunda kaget dan senang dengan penampilan Pandu.

Gini kan lebih cakep,” puji Bunda. Hidung Pandu kembang-kempis mendengarnya. Ita tersenyum puas melihat hasil perubahan adiknya. Hanya Tiar yang khawatir. Tiar merasa ikut bertanggung jawab bila kakaknya kecewa lantaran patah hati. Ah, Tiar harus memberi tahu Pandu secepatnya. Sebelum panah asmara menancap terlalu dalam. Sebelum semua mawar Bunda habis dipetik. Lho, kok? Karena setiap pagi sebelum kuliah, Pandu memetik setangkai mawar dan menitipkannya kepada Tiar. Untuk Mawar, katanya. Imbalannya, sebatang coklat untuk Tiar. Sudah enam batang mawar bunda yang jadi korban.

Terus, Tiar musti bilang apa, Mas? Tanya Tiar ketika itu, polos.

Bilang saja, I love you, ya gitu deh!” Pandu nyengir kuda.

Nyatanya, Tiar hanya berani menyerahkan setangkai mawar saja. Itupun dengan sangat malu-malu. Mawar sendiri tak ambil pusing dengan perhatian berlebih Pandu tersebut.


  

Tiar baru saja menyelesaikan salat Asar ketika telepon berdering. Pandu seketika bersemangat menerimanya. Kali ini ia yakin telepon itu dari Mawar. Tiar hanya bisa berpandangan dengan Ita, saling tersenyum.

Doa Pandu terkabul. Memang benar Mawar yang menelepon, walaupun gadis itu ingin bicara dengan Tiar. Dengan iseng, Pandu mengerjainya.

Oh, Tiar. Dia sedang pergi dengan Mbak Ita, gak tau pulangnya kapan,” Pandu mengerjapkan mata pada Tiar. Ingin rasanya Tiar berteriak, tapi Ita melarangnya.

We’ll see, Dear,” ucap Ita lembut.

Apa? Walimahan? Bahasa apalagi tuh?”

Pernikahan. Saya dan Tiar sudah janji akan pergi bersama jam lima nanti.”

Pernikahan siapa?”

Insya Allah, pernikahan Mawar, Mas.”

Pandu lemas. Seluruh tulangnya seakan lepas. Telinganya bagai tuli, tak bisa mendengar pesan Mawar untuk Tiar. Kecewa membayang di wajahnya. Tiar dan Ita berdiri di belakang Pandu, menjaganya agar tak pingsan.

Hening. Tiba-tiba,

Mas, afwan. Bukan maksud Tiar mengecewakan Mas,” lirih suara Tiar.

Pandu tersenyum getir. Dielusnya kepala adiknya. Dihelanya nafas panjang.

Mungkin, memang Mas dan dia tidak berjodoh. Bukankah Tiar pernah bilang, lelaki baik-baik untuk perempuan baik-baik. Mungkin Mas belum baik, atau Allah akan berikan yang lebih baik buat Mas,” Pandu berusaha menghibur adik sekaligus dirinya sendiri.

Di halaman, Bunda sedang kesal. Mawar-mawarnya botak.

Ita, Pandu, Tiar! Siapa yang iseng curi mawar Bunda?!”

Ketiga saudara itu hanya tertawa lepas.


~~~∞۝∞~~~



Agus Prasetya



Kisah Masa Lalu dan Seorang Sahabat



Seorang pemuda duduk di ruang tamu. Pandangan matanya lurus namun kosong. Nampaknya ia sedang memikirkan sesuatu. Ia tak menyadari bahwa di luar turun hujan deras. Bahkan ketika sesosok tubuh jatuh dari motor karena hujan yang terlampau lebat, ia tetap tak sadar. Barulah ketika didengarnya suara orang meminta tolong, disadarinya kakaknyalah yang jatuh dari motor.

Sampai esok paginya ia masih murung. Ia tak mau makan, tak mau berpikir apa-apa. Sebenarnya ia ingin cerita tentang kejadian sore itu, tapi tak tahu pada siapa. Dia mencoba bersabar. Mungkin aku bisa cerita pada temanku, Ratno, pikirnya.

Tiba-tiba bel berbunyi. Pak Rasmin masuk kelas.

Kumpulkan PR kalian, bagi yang tidak mengerjakan silakan berdiri di depan!”

Ma.. maaf, Pak. Saya lupa bawa bukunya…” si pemuda berkata gugup.

Kamu menyepelekan pelajaran saya?! Berdiri di depan kelas sampai pelajaran usai!”

Bukan, Pak. Saya salah bawa buku, salah jadwal...”

Tidak ada alasan, ayo berdiri!!” Pak Rasmin memerah wajahnya karena marah.

Ketika istirahat,

Toto!” sapa cowok berambut keriting.

Hai, Ratno!” si pemuda menoleh sambil tersenyum agak terpaksa.

To, tau gak, aku sekarang udah jadian lho!” Ratno terus bicara, tak sadar kalau Toto tak mendengarkan.

“”Eh, To, kamu ngedengerin aku nggak?”

Eh, apa?”

Aku baru jadian…” ujar Ratno dengan mata berbinar.

Sama siapa?” Toto mulai bisa mengontrol pikiran.

Sama Riri,” kata Ratno sambil tertawa.

Apa?! Riri?!”

Kenapa emangnya?”

Oh, nggak apa-apa kok…”

Ya sudah, aku masuk kelas dulu,” Ratno melambaikan tangan. Toto hanya bisa menyaksikan sahabatnya pergi.

Pulang sekolah, Toto berat sekali untuk melangkah ke rumah. Dia tidak tahan melihat tempat kejadian kakaknya kecelakaan yang tepat di depan rumah. Ditambah lagi nilainya terus merosot, perutnya sakit karena belum makan dan kepalanya pening. Ia memilih duduk di teras sekolah dan jatuh tertidur.

Esoknya Toto dihukum menyalin tugas karena lupa mengerjakan PR Bahasa Indonesia. Dia mulai lupa tugas-tugas sekolahnya. Yang dia ingat hanyalah kecelakaan yang menimpa kakaknya.

Hai To! Tumben di sini? Biasanya ke kantin,” Ratno dan dua temannya ketika Toto sedang menyalin tugas.

Oh, kamu. Rat, aku mau…”

Rat, ke kantin yuk!” belum selesai Toto berbicara, teman Ratno sudah menyela.

Oh, ya. To, aku ke kantin dulu.”

Toto hanya bisa tersenyum sambil menahan marah dan sedih. Di matanya terbayang kejadian yang menimpa dirinya beberapa hari lalu.

Malam itu Toto pergi berpesta dengan teman-temannya. Sebenarnya perasaannya sudah tak enak waktu itu. Toto minum hingga mabuk, setelah itu dia tidak ingat apa-apa lagi. Yang diingatnya hanya ada seseorang yang membawanya. Itu saja.

Keesokan harinya,

Hei, To! Kamu tau nggak? Aku diputusin sama Riri!” cerita Ratno.

Toto mulai emosi. “Teman macam apa kamu? Saat kamu senang, kamu ninggalin aku. Saat kau susah, kamu datangi aku. Yang punya masalah nukan kamu saja, aku juga punya!”

Eh, To, aku ngomong baik-baik kok kau malah ngotot gitu? Kamu juga teman macam apa? Harusnya kamu denger ceritaku dulu!” Ratno sama-sama emosi.

Ya udah, aku nggak mau berteman sama kamu lagi!” Toto mulai tak terkendali.

Oh, gitu? Kamu memang bajingan! Aku juga nggak mau berteman sama kamu lagi!” Ratno meninggalkan Toto.

Diam-diam Toto menyesal. Sekarang dia kehilangan teman baik.

To, kamu dipanggil kepala sekolah,” kata Tina, teman sekelasnya.

Ada apa lagi?” batin Toto. “Bapak memanggil saya?” tanyanya di depan pintu ruang kepala sekolah, gugup.

Silakan duduk!”

Ada apa, Pak?”

Bapak dengar, akhir-akhir ini kamu sering tidak mengerjakan tugas. Nilai-nilaimu juga merosot. Sering tidak masuk juga,” kata kepala sekolah. Toto hanya diam.

Dengar, To. Kamu murid teladan, sebagai panutan murid lain. Kamu harus bisa memperbaiki prestasimu. Kalau nilaimu terus merosot, Bapak terpaksa mengeluarkan kamu. Mengerti?” jelas Pak Rahmat, sang Kepala Sekolah. Toto hanya bisa mengiyakan.

Di rumah, kedua orang tua Toto sudah menanti. Sepertinya ada hal penting yang ingin dibicarakan.

Toto, sini Nak,” ibunya berkata lembut namun agak sedih.

Ada apa, Bu?”

Ibu dan Bapak sudah memutuskan untuk…” Ibu tidak melanjutkan kata-katanya.

Kita pindah?” Toto berkata pelan sambil menatap seisi rumah, sekan meminta penjelasan.

Iya…” Ibu berkata lirih. Toto masuk kamar dengan sedih.

Sore harinya seorang teman Toto memberi tahu rencana kepindahan Toto kepada Ratno. Ratno merasa sedih, mengingat pertengkarannya dengan Toto waktu dulu.

Keesokan harinya Ratno pergi ke rumah Toto dengan membawa kado berbalut kertas biru muda. Dengan wajah tegang bercampur sedih ia menemui Toto di teras rumah.

Hai, To. Maaf ganggu, aku cuma mau tanya, benar kamu pindah hari ini?”

Iya,” Toto tertunduk lemas.

Ya sudah, selamat jalan. Aku juga minta maaf soal pertengkaran kemarin. Mungkin aku kurang ngertiin kamu. Waktu itu aku lagi emosi,” kata Ratno memecah suasana.

Sama-sama, Rat. Aku juga salah nggak mau dengerin cerita kamu waktu itu,” jawab Toto. Mereka berpelukan erat.

Udah dong, malu diliat orang,” ujar Ratno sambil melepas pelukan.

Iya, iya…” Toto tersipu malu.

Eh, iya. To, aku ada sesuatu buat kamu,” Ratno menyerahkan kadonya.

Apa ini?”

Udah, simpan aja buat kenang-kenangan persahabatan kita!”

Mendengar itu, Toto makin enggan meninggalkan kampung halaman dan sahabatnya tercinta itu.

Waktu berlalu cepat. Truk pembawa barang sudah datang. Perpisahanpun terjadi.

Met jalan, To. Hati-hati, jangan pernah lupakan aku!”

Iya, aku nggak akan lupakan kamu!” ujar Toto dengan berat hati.

Di atas truk, Toto membuka kado dari Ratno. Sebuah foto mereka berdua, dengan bingkai indah. Di bawahnya berukiran kata-kata ‘You’re My Best Friend’.

Sambil tersenyum Toto berkata dalam hati, “Kaulah sahabat terbaik, dalam suka dan duka, terima kasih.”


~~~∞۝∞~~~

Kisah Selfiana



Na…



Waktu menunjukkan pukul 12.45. Panas, berbagai hawa tak sedap mulai tercium di sela-sela murid yang sedang melakukan ospek. Suara kakak kelas lantang terdengar, tak mengenakkan. Fiana, gadis remaja 16 tahun diam saja ketika itu.

Pukul 13.30 semua murid pulang. Fiana harus berjalan kaki sekitar 100 meter untuk memperoleh bis. Dia tidak sendiri. Santi, teman SMP-nya, juga menemaninya.

Begitu sampai rumah, Na segera masuk kamar. Dari arah pintu terdengar suara,

Na, kamu udah pulang? Kok Mamah nggak denger kamu kasih salam?”

Mamah aja tuh, yang nggak denger…” Na membela diri.

Keesokan paginya Na segera bangun dan menyiapkan diri untuk masuk sekolah baru, SMA Nusantara. Setelah sarapan ia segera pamit.

Mah, minta uang dong, Na mau berangkat nih… Papah udah pulang yah?”

Iya, tapi jangan diganggu. Masih tidur. Hati-hati ya!” Mamah mengangsurkan sejumlah uang.

Assalamualaikum…”

Wa’alaikumsalam…”

Tepat pukul 07.00 Na tiba di sekolah. Ini adalah sekolah unggulan, sehingga kegiatan belajar sudah dimulai pada hari pertama, meski sebagian murid belum siap. Na memilih duduk di depan bersama teman barunya, Septy.

Hari demi hari berlalu. Tak terasa sudah seminggu Na bersekolah. Na semakin akrab dengan teman sekelasnya. Namun Na tak merasakan kalau diam-diam ada yang menaruh hati padanya. Ternyata Heri menyukai Na sejak ospek dulu, namun Na tak menyadarinya.

Suatu hari, Heri menanyakan alamat Na. Bermula dari ini, seisi kelas menjadi heboh akan berita bahwa Heri menyukai Na. Na tak begitu ambil pusing. Apalagi kemudian salah seorang teman Heri, Ibel, juga suka padanya.

Ibel, atas bantuan Agus, menyerahkan selembar surat berisi pantun untuk Na.

Buah pepaya jangan dimasak

Kalau dimasak pahit rasanya

Cinta pertama jangan ditolak

Kalau ditolak sakit hatinya

Beberapa hari setelah itu, Ibel mengajak Na pulang bersama. Na mengiyakan, namun harus bersama temannya. Jadilah mereka berjalan berempat.

Itu adalah pengalaman pertama Na berjalan dengan laki-laki. Tiba-tiba saja di tengah jalan Ibel berkata,

Na, kamu mau nggak jadi orang paling spesial di hati aku?” tanyanya sambil mengenggam jari Na. Ow, bimbangnya hati Na.

Atas saran Santi, Na menerima Ibel sebagai pacar. Lambat laun, mereka makin akrab. Bahkan akhirnya Santi juga mendapat pacar, sehingga mereka bisa makin kompak.

Beberapa bulan kmudian, benih masalah muncul. Ternyata selama ini Ibel masih berhubungan dengan Dewi, pacarnya sewaktu di SMP. Hal itu diketahui Na dari Tary, sepupunya yang tak lain adalah temannya Dewi. Betapa kecewa hati Na. Lebih kecewa lagi ketika Ibel membenarkan hal tersebut.

Na memaksa Ibel memilih Dewi atau dirinya. Ibel akhirnya memilih untuk tetap bersama Na.

Kamu milih aku bukan karena bosan sama Dewi, kan?” Na bertanya.

Ibel menjelaskan bahwa Dewi sudah dijodohkan oleh orangtuanya. Maka dari itu Ibel memilih Na. Mereka tetap bersama dan tetap lengket. Walaupun Na sering mendapat terror dari Dewi, ia tidak ambil pusing. Apalagi beberapa waktu kemudian Dewi menikah.

Liburan sekolah tiba. Na memilih menghabiskan liburan di Jogjakarta, tempat kakaknya kuliah. Ibel memilih berliburan di Jakarta, karena sebenarnya ia asli dari Jakarta. Maka selama dua minggu itu mereka tidak saling bertemu. Wajarlah jika ketika liburan usai, Na merasa amat rindu. Namun sampai beberapa hari setelah sekolah dimulai, Ibel belum juga kembali.

Seminggu kemudian, Ibel menepon Na. Na amat ceria. Namun kebahagiaannya berubah jadi kemurungan saat Ibel bercerita bahwa ia akan pindah ke Jakarta untuk waktu lama. Meski sedih, Na mencoba ikhlas dan sabar dalam penantiannya itu.

Perpisahan Na dengan Ibel itu mebuat Heri, cowok yang dulu menyukainya, kembali berusaha mendekati Na. Na mencoba untuk tidak berkhianat. Ia sudah bertekad untuk tetap setia pada Ibel. Ibel juga tetap setia, walau dulu ia dikenal sebagai playboy.

Hari berganti bulan, bulan berganti tahun. Na sekarang sudah duduk di kelas tiga SMA. Sudah tiga tahun juga usia pacarannya dengan Ibel, walau jarak jauh. Suatu hari Ibel datang dan mengajak Na menemui keluarganya. Na sudah akrab dengan keluarga Ibel, walau tak urung pertemuan kali itu benar-benar membuat Na terkejut. Di pertemuan itu Ibel membeberkan rencana untuk bertunangan dengan Na. Bagai mimpi di siang bolong bagi Na. Na tidak percaya, karena selama ini Ibel dikenal tidak serius bila menjalin hubungan dengan lawan jenis.

Keinginan Ibel itu direstui oleh keluarga Ibel. Akan tetapi, Na meminta keputusan itu ditunda.

Maaf ya, Bel. Bukannya Na nggak mau, tapi Na masih ingin kuliah. Na juga masih punya kakak perempuan yang belum menikah. Na akan nikah kalau kakak Na sudah menikah. Kalau emang jodoh nggak mungkin kemana, kan?” Ow, ternyata pemikiran Na cukup bijak juga. Pertunangan itu akhirnya ditunda dampai Na menyelesaikan sekolah.

Hari pengumuman kelulusan datang jua. Na lulus dengan peringkat nilai tertinggi. Ditambah lagi, Na mendapat beasiswa masuk fakultas kedokteran yang selama ini Na impikan. Kebahagiaan Na bertambah dengan berita bahwa Ibel lulus juga.

Mulai saat itu, Na sibuk sebagai mahasiswi fakultas kedokteran jurusan bedah tulang. Ibel juga sibuk dengan usaha milik orangtuanya. Pertunangan mereka lupakan. Bahkan hubungan mereka pun menjadi tidak jelas karena kurangnya komunikasi akibat kesibukan masing-masing. Hingga suatu ketika kduanya memutuskan untuk memilih jalan masing-masing yang mungkin akan lebih baik, meskipun dalam hati keduanya masih saling memiliki satu sama lain. Mereka percaya suatu saat nanti waktu akan mempertemukan mereka karena mereka tak bisa menghindari cinta.


~~~∞۝∞~~~


Indrawati Kusumaningtiyas



Parjo Pahlawan Kesiangan



Malam sudah larut. Parjo duduk termangu di atas bangku panjang di samping rumahnya. Dihisapnya rokok kretek yang terselip di antara kedua jarinya. Asap putih berhembus dari lubang hidungnya. Ahh, sungguh nikmat!! Sesungguhnya Parjo sadar bahwa rokok itulah yang menghisap kesehatannya. Dia sudah beberapa kali mencoba berhenti, tapi sia-sia karena rokok sudah menjadi sahabatnya mengahadapi hiruk-pikuk kehidupan.

Malam sangat sunyi. Hanya beberapa kali terdengar gonggongan anjing dan sirine ambulans dari kejauhan karena rumah Parjo terletak di belakang rumah sakit umum. Parjo sama sekali tidak menghiraukan suara-suara itu. Dia tetap menikmati kesendirian di samping rumah mungilnya, ditemani segelas kopi tubruk dan sekotak rokok.

Merasa lelah, Parjo bersandar ke dinding rumahnya yang terbuat dari batu bata merah yang belum diplester. Tidak seluruh tembok rumahnya terbuat batu bata. Bagian atasnya terbuat dari anyaman bambu yang sudah mulai rapuh, berlubang, bahkan bertambal di beberapa sisinya. Atap rumahnya juga tidak kalah mengenaskan, sebagian gentengnya bocor dan pecah, sebagian lagi melorot turun karena ulah kucing liar yang sering lalu lalang. Saat musim hujan, tetesan air hujan kerap masuk ke dalam rumah, mengganggu tidurnya. Saat musim kemarau Parjo dan keluarganya kembali tersiksa oleh debu karena lantai rumahnya terbuat dari tanah. Debu itu menempel di setiap benda di rumahnya.

Parjo beranjak dari duduknya dalam masuk rumah. Warni, istrinya sudah lama terbuai dalam mimpi indah di atas dipan kayu warisan orang tua. Di sebelahnya terlihat Arzan, putra mereka yang berumur tiga tahun, juga tertidur dalam damai. Tangan Parjo bergerak membelai kening putranya dengan lembut, kemudian diciumnya. Matanya kemudian tertuju pada istrinya. Ahh.., Warni…

Ingatan Parjo melayang ke masa silam, masa muda yang penuh kenangan indah bersama Warni yang kini menjadi istrinya. Warni dulu begitu cantik. Entah mengapa dia mau menerima Parjo padahal dulu banyak pemuda yang menyukainya. Dibandingkan dengan Parjo tentu sangat jauh berbeda. Apa yang dapat diharapkan dari pemuda miskin seperti Parjo? Tampang pas-pasan dengan masa depan tak terarah. Maklum, Parjo hanya seorang guru honorer di sebuah yayasan swasta yang gajinya tak seberapa. Tak sebanding dengan Rudi anak kepala desa, Dimas anak mantri di puskesmas dan Darmadi yang orangtuanya memiliki tempat penggilingan padi, juga Karyo yang sudah mapan di Jakarta serta masih banyak lagi pemuda lain yang memiliki masa depan menggiurkan untuk gadis desa seperti Warni. Tapi siapa sangka Warni justru memilih Parjo? Pernah Parjo menanyakan hal itu kepada Warni.

Kenapa kamu mau hidup denganku?”

Warni hanya tersenyum dan berkata, “Kenapa kamu tanya seperti itu, Mas? Kalau sudah cinta, tidak peduli harta atau kedudukan!”

Wow, cinta?! Gerangan apa yang membuat Warni buta dan melabuhkan cintanya pada Parjo? Tapi itu adalah kenyataan dan Parjo amat bangga. Bangga!! Warni amat mencintainya. Berhari-hari, berminggu-minggu, bahkan berbulan-bulan Parjo merasa menjadi orang yang paling beruntung di muka bumi ini. Ke mana saja dia pergi bibirnya selalu dihiasi senyuman. Rambutnya rapi klimis dan pakaiannya selalu licin dan wangi.

Tapi itu dulu, masa awal pernikahan Parjo dan Warni. Kini Parjo baru menyadari bahwa rumah tangga tidak cukup dibangun hanya bermodalkan cinta semata. Cinta?! Ke mana gerangan perginya makhluk yang dulu sangat diagungkan itu? Di manakah cinta yang dulu membuat hari-hari begitu indah? Kesulitan-kesulitan ekonomi yang menyelimuti membuat cinta yang dulu sangat dibanggakan memudar, berganti pertengkaran-pertengkaran panjang dan melelahkan.

Mas, usaha dong! Masa sih, sekian tahun kita berumah tangga, tapi tidak punya apa-apa selain sepeda bututmu itu?” keluh Warni suatu hari.

Mau usaha apa lagi? Apa aku harus ikutan korupsi? Apa yang mau dikorupsi? Kamu tahu sendiri aku cuma guru bantu, penghasilanku tidak seberapa. Seharusnya kamu bersyukur karena masih memiliki rumah walau sederhana. Apa kamu tidak mendengar berita penggusuran yang terjadi di mana-mana?” kata Parjo.

Alah, alasan!! Bilang saja kamu malas, Mas! Itu si Badrun, baru kemarin dia mengajar di SD Pambudi, sekarang dia sudah jadi PNS. Dia juga cekatan, punya usaha sampingan. Uangnya mengalir seperti selokan depan itu. Aku iri!!” jawab Warni.

Sudahlah, kamu sendiri pernah bilang kalau rezeki orang berbeda-beda. Badrun itu orang tuanya banyak relasi, kaya dan punya modal usaha. Kalau aku? Aku ini yatim piatu, mau dapat modal dari mana?” kilah Parjo.

Dari mana kek, yang penting usaha! Kalau cuma mengandalkan gaji, mana mungkin bisa maju?”

Parjo hanya diam. Ia memilih mengalah. Pertengkaran hanya akan membuat panas di dada. Huh, bukan istrinya saja yang menjadi masalah. Dia juga mendapat teguran dari Ketua Yayasan kaena sering datang terlambat.

Pak Parjo, anda seorang pengajar. Seharusnya memberi contoh yang baik. Bagaimana mungkin mengajarkan disiplin pada murid jika kita sendiri tidak bisa menjalankan? Tolong diubah kebiasaan itu, bisa kan, Pak?” tegur Kaepala Yayasan suatu hari.

Baik, Pak. Tapi...”

Ah, sudahlah! Pokoknya Pak Parjo jangan pernah terlambat lagi. Malu dong sama anak didik!”

Parjo hanya bisa manggut-manggut, menelan ludah sambil mengigit bibirnya yang hitam karena terlalu banyak merokok.

Waktu terus berjalan. Matahari terbit dan tenggelam menenggelamkan hari-hari yang kelam. Masalah kehidupan terus saja membelit. Hidup memang melelahkan.

Ah, aku tidak habis pikir, di negara yang kaya dan subur ini masih banyak orang hidup menderita seperti aku. Ke mana larinya hasil bumi? Mungkin negeri ini sudah terlalu banyak mengingkari nikmat Tuhan, sehingga hidup di zamrud khatulistiwa jadi terasa seperti di padang pasir yang berdebu dan berbadai. Duh Gusti, aku harus bagaimana?” keluh Parjo, membuyarkan angan.

Parjo ingat, beberapa minggu lalu datang dua orang sales sepeda motor ke tempat Parjo mengajar. Mereka menawarkan berbagai jenis sepeda motor dengan fasilitas kredit dan bunga ringan kepada guru-guru di sana.

Nah, bagaimana Pak Parjo? Bapak bisa ambil yang mana saja, uang muka tidak memberatkan. Cicilannya juga ringan. Syarat-syaratnya mudah kok. Teman-teman Bapak sudah pakai motor, masa Pak Parjo masih pakai sepeda?” rayu salah seorang sales.

Benar, Pak. Lagipula dengan sepeda motor itu saya yakin Pak Parjo tidak akan datang terlambat lagi, jadi Pak Parjo tidak akan ditegur Kepala Yayasan lagi,” tambah salah satu rekan guru.

Iya, ambil sajalah, Pak. Toh, tidak ada ruginya, kan? Anak Pak Parjo masih kecil, belum perlu biaya sekolah. Nanti sepedanya bisa dijual untuk tambahan modal istri Pak Parjo jualan di pasar. Jadi Pak Parjo bisa jemput istri di pasar tanpa harus terlambat ke sekolah,” tambah guru lain.

Parjo mulai terbujuk. Dia mulai mengamati brosur motor itu. Toh, sepulang sekolah nanti ia bisa menarik ojek untuk membayar cicilan motor. Ah, mantaplah niat Parjo membeli motor. Sekarang bukan jaman Oemar Bakri dengan sepeda kumbangnya. Motor sepertinya bukan lagi barang mewah, hampir semua orang memilikinya.

Keinginan itu diwujudkan Parjo diam-diam. Ia ingin memberi kejutan bagi Warni. Dipinjamnya uang dari salah satu rekan guru untuk uang muka motor yang didambakannya.

Pagi tadi adalah hari yang sangat membahagiakan Parjo. Ia ingat betapa istrinya menangis bahagia ketika sebuah sepeda motor baru turun dari mobil boks di depan rumahnya. Dicobanya motor itu keliling kampung bersama istri dan anaknya. Sungguh kebahagiaan yang baru pertama dirasakan Parjo dan keluarga. Sinar panas matahari jadi terasa sejuk, bunga-bunga terlihat lebih indah dan suara nyaring knalpot motor terasa bagai nyanyian bidadari di telinga Parjo.

Malam ini Parjo tidak bisa tidur. Terbayang besok pagi dia akan berangkat mengajar dengan sepeda motor baru, tidak lagi terlambat dan mandi keringat. Wibawanya sebagai pengajar pasti akan naik.

Sudah jam dua pagi, Parjo mulai menangis. Pelan-pelan matanya mulai menutup. Suara jangkrik mengantarnya tidur. Segelas kopi buatan Warni sudah lama habis, berganti dinginnya embun yang datang bersama hembusan angin. Parjo tertidur, suara dengkurannya seperti berlomba dengan nyanyian serangga malam.

Mas Parjo, bangun! Sudah siang lho, mau berangkat ujian, tidak?” tanya Warni sambil menggendong Arzan.

Parjo menggeliat, matanya merah dan tampak mengantuk.

Kamu tidur jam berapa, Mas? Kok tidur di sini? Biasanya kan, kamu yang bangun duluan.. Oh ya, Mas, motornya ditaruh di mana?” tanya Warni lembut.

Ada, itu di dalam,” jawab Parjo sambil melirik Warni yang duduk di sebelahnya.

Mana, kok aku nggak lihat?”

Sayang, jangan bercanda kamu ah…”

Benar Mas, aku nggak bohong kok!”

Parjo terkejut dan was-was. Di sibuk mencari motornya ke seluruh ruangan, kamar tidur, dapur, sampai kamar mandi, motor barunya tetap tak ada.

Rupanya sewaktu Parjo tertidur di bangku samping rumah, ia lupa bahwa kunci kontak motornya masih tergantung di motor. Dia juga lupa menutup pintu sehingga pencuri leluasa masuk dan membawa motor yang belum sempat dipakainya itu.

Parjo terdiam. Dalam layar pandangnya perlahan muncul wajah Warni, Arzan, Kepala Yayasan, sales motor, rekan-rekan guru. Wajah-wajah itu muncul bergantian, lalu perlahan lenyap. Segalanya gelap. Parjo pingsan.


~~~∞۝∞~~~


Indra Dwi H.



Sahrodan dan Kehidupan



“Akulah Sahrodan! Akulah Sahrodan! Akulah Sahrodan! Aku lahir dan hidup di dunia ini dengan penuh kesengsaraan. Tak ada yang memedulikanku!”

Kembang-kembang yang mekar di taman itu tersenyum mesra, menyambut kedatangan Sahrodan, lelaki pembawa karung dan arit yang berpakaian compang-camping dan kepalanya tak berambut. Ia sedang mencari rumput untuk makan kambing-kambingnya. Semua yang melihatnya mencibir. Laki-laki tersenyum pahit, anak-anak tertawa mengejek, wanita-wanita melengos. Hanya kembang-kembang di taman yang menyambut Sahrodan dengan mesra, itu pun dengan perasaan geli menyelip.

Hidup itu aneh! Para orang kaya, orang miskin, orang besar, orang kecil, komisaris, TNI, polisi, juragan, seniman, pejabat, mahasiswa, tukang parkir, pengedar narkoba, penjual minuman keras, bupati, camat, lurah, perangkat desa, guru, pegawai negeri, pemborong, mandor, dokter, bidan, perawat, buruh pabrik, buruh tani, tukang becak, tukang, sais dokar, tukang ojek, masinis, kondektur, sopir bus, ulama, dosen, penjual karcis, kuli bangunan, gelandangan, pengamen, pengemis, semua mementingkan diri sendiri. Demi sesuap nasi, mereka rela korupsi.

Wahai Tuhan, malaikat, dan penguasa jagad raya ini! Kau telah mendengar dan melihat. Apa yang akan Kau lakukan?”

Bunga-bunga sudah berkali-kali bermekaran dan gugur. Ulat-ulat sudah tak terhitung lagi yang bermetamorfosis menjadi kupu-kupu dan mati menyatu dengan tanah. Begitu juga di sepanjang pantai selatan kini tinggal puing akibat hantaman tsunami. Begitulah hidup. Bergulir bagai roda pedati. Tumbuh, berkembang dan mati kembali ke asalnya, Allah SWT.

Waktu tak bisa kita putar kembali. Tapi, aku terlahir tanpa mengenal Ayah dan Ibu. Hidup penuh kesengsaraan. Lapar sudah menjadi teman karibku. Aku muak dengan kehidupan! Aku benci keadaan! Aku hidup untuk siapa? Anak belum punya, istri juga tak ada. Paling juga untuk Nenek yang selalu mendampingi, itu pun sudah sakit-sakitan, tinggal menunggu ajal. Ah, hidup hanya permainan! Aku penganut iblis! Orang-orang tak memedulikanku, jadi terserah aku akan berbuat apa!” Sahrodan memasang susuk sambeliler di tengah-tengah keningnya.

Sosok Sahrodan yang semula dihina, dicaci, dimaki, kini berubah. Orang-orang tertunduk kaku seperti mayat hidup. Layaknya seorang raja yang memerintah, semua orang tunduk dan pasrah ketika mendengar nama Sahrodan.

Semua sudut desa yang berhawa sejuk seketika berubah pengap oleh kebiadaban Sahrodan. Hanya dengan mengucapkan bacaan Al Fatihah, salawat Nabi dan syahadat masing-masing tiga kali, semua orang akan tunduk.

Masyarakat beranggapan bahwa Sahrodan telah menjadi orang musyrik. Tetapi Sahrodan tak mau dikatakan demikian. Ia mengambil mantera dari ayat Al Quran dan susuk itu dipasang langsung oleh seorang kyai.

Kebutuhan hidup makin meningkat. Sahrodan, yang dulu dicemooh, dicaci maki, ditertawakan, kini turun ke masyarakat, mencoba mengais rezeki dari kekuatannya.

Muatan truk perlahan-lahan masuk ke pedesaan, tertutup oleh terpal tebal dan tinggi. Orang-orang berduyun-duyun mendekat, termasuk Sahrodan. Empat orang naik ke atas truk, berusaha membuka terpal. Ternyata isinya bawang putih. Tumpukan bawang putih, terbungkus rapi dengan berat sekitar tiga ton. Sahrodan muak jika harus bekerja, tapi ia menginginkan uang dari hasil kerja keras. Akhirnya ia ikut dalam pembongkaran tersebut.

Setelah satu setengah jam, pekerjaan itu selesai. Seorang wanita bertubuh tinggi besar menyodorkan air minum kepada Sahrodan yang ngos-ngosan. Tenaganya terkuras.

Laki-laki bertubuh pendek, berkepala gundul, berperut besar berjalan mendekati para kuli. Ia membawa setumpuk uang. Seorang kuli bertubuh tinggi bsar dan bermata sipit mengambil uang itu dan membagikannya. Tiga puluh ribu berhasil didapat Sahrodan.

Malam menjelang dan dengan cepat berubah menjadi pagi. Kabut tipis perlahan menghilang. Kokok ayam jantan bersahutan, suara azan menggema memaksa Sahrodan membuka mata. Kerbau-kerbau kecil berjalan di depan kerbau-kerbau besar, layaknya seorang ibu sedang membimbing anaknya. Anak-anak berjalan dengan penuh canda tawa. Sebagian membawa sepeda onthel, sebagian membawa sepeda motor. Ada yang berboncengan laki-laki dengan perempuan, laki-laki dengan laki-laki, atau perempuan dengan perempuan.

Sahrodan meniatkan hari ini dengan penuh harapan. Ia segera mandi dan berangkat sekolah. Jika anak-anak lain hanya berpikiran sekolah dan belajar, Sahrodan harus membagi waktu untuk sekolah dan bekerja.

Nenek menyuruh Sahrodan berhenti sekolah sewaktu kelas dua SMA Karena tak sanggup membiayai. Namun Sahrodan tetap bertekad, melangkahkan kaki dan berjalan ke depan menyongsong masa depan.

Aku rela berspekulasi denga nasib. Aku akan tetap bersekolah dan kerja sambilan. Tapi kerja sambilan tak cukup untuk membiayai sekolahku di SMA swasta,” keluh Sahrodan.

Sahrodan memiliki beberapa teman akrab dan bergabung dengan mereka dalam Persatuan Bangsat-Bangsat. Perampokan, pencurian, pemerkosaan, pencopetan, pemalakan sampai pembegalan adalah pekerjaan mereka.

Akulah Sahrodan! Si Biang Kerok semua permasalahan. Dengan begitu, aku akan bisa membiayai sekolahku sampai lulus. Aku berterima kasih pada mereka yang telah membantuku dalam hal negatif. Ya, aku justru tak mau dan tak suka hal positif. Kutolak tawaran beasiswa. Aku ikhlas melakukan semua ini.”

Setelah lulus, Sahrodan berniat bekerja di Jakarta. Di sana ia memiliki kenalan bernama Pak Maryono, seorang pemborong perumahan elit. Ia diajak bekerja sama.

Benar-benar menakjubkan titipan Tuhan itu. Baru tujuh bulan bekerja, Sahrodan telan memeroleh empat rumah dan sebagai kompensasinya, ia bisa melanjutkan pendidikan ke jenjang perguruan tinggi. Namun ia hanya bisa tersenyum pedih karena teman-teman karibnya dulu sekarang berada di balik teralis besi.

Aku salut dengan keadaan. Berangkat dari kemiskinan, sekarang aku sudah bisa menghajikan Nenek. Andai Bunda ada di sampingku, pasti beliau akan bahagia. Tenanglah Bunda di alam sana. Aku telah mengerti kehidupan sebenarnya. Aku telah berubah. Untuk warga kampung, tak usahlah kau takut denganku lagi. Sahrodan sekarang bukan Sahrodan yang dulu lagi. Aku berjanji akan berusaha mengangkat derajat kaum rendahan. Waktu yang akan menjawab semuanya.”


~~~∞۝∞~~~

Irma Sulistyaningsih



BUKU-BUKU BERBISIK



Dia” sudah datang. Setiap hari kami selalu menunggu-nunggu kedatangannya. Karena kedatangannya berarti kami akan memperoleh udara segar dari semua pintu dan jendela yang dibukanya. Sebuah kesejukkan surgawi akan menerpa kami. Usai membuka pintu dan jendela, ia akan mengambil kemonceng dan membersihkan semua sudut dan setiap jengkal semua benda di ruangan ini.

Setelah semua bersih, ia akan menutup kembali pintu-pintu. Tetapi jendela-jendela itu akan terbuka lebar sampai senja hari. Kemudian dia akan duduk di kursinya, membuka file-file, mencatat sesuatu, mengetik dan menyetempel. Itulah yang dilakukannya sehari-hari dengan wajah cerahnya.

Si Centil di sebelahku terbatuk-batuk. Aku tahu ia ingin aku memperhatikannya. Aku pun menoleh ke arahnya.

Ngapain sich?” tanyaku, pura-pura sebal.

Dia terlambat lagi.”

Apa bedanya ia datang terlambat atau tidak? Ia akan tetap sendirian di sini sampai kira-kira pukul sepuluh. Jadi buat apa dia datang terlalu pagi?” tanyaku lagi.

Heh .... kalau dia begitu terus .... aku takut dia akan di pecat ....” Aku tertawa mengejeknya.

Siapa yang akan melakukannya? Dia sangat dibutuhkan di sini. Tidak banyak orang yang mau bekerja di sini kan?”

Jangan terlalu optimis, ”Si centil kelihatan tidak senang.

Kamu juga, jangan terlalu pesimis,” Balasku.

Dia tidak akan pergi,” tiba-tiba ada suara berat menyela pembicaraan kami. Rupanya si cokelat urun bicara. ”Kita mencintainya dan dia mencintai kita” Lanjutnya.

Menjelang pukul sepuluh seperti yang ku perkirakan datanglah dua orang ABG keruangan ini. Dalam menit-menit berikutnya orang-orang lain pun mulai berdatangan. Si ”Dia” tampak sibuk sekarang. Senyumnya mengembang menyambut mereka. Dia berusaha melayani dengan baik, tak peduli siapapun yang datang. Aku mendehem melihat si Centil melenggak-lenggokkkan tubuhnya. Si Cokelat malahan tertawa geli.

Namun si Centil memang tidak rugi melenggak-lenggok seperti itu. Tak lama kemudian sudah ada seseorang yang meraih tubuhnya yang mungil. Giliran aku dan si Cokelat memandang kepergiannya dengan hati nelangsa.

Si Centil selalu beruntung.banyak orang yang menginginkan dirinya. Ia tidak pernah lama tinggal bersama kita,” Kata Cokelat dengan sedih.

Jangan begitu, ah .... bukankah kamu juga pernah di ajak pergi?” Hiburku.

Yah .... beberapa kali selama sebelas tahun aku berada di sini.”

Itu sudah bagus ....” aku mendesah.

Bagus? Bandingkan dengan dirimu dan si Centil ! Kalian begitu sering meninggalkan tempat ini. Dan setiap kalian kembali, kalian selalu membawa cerita tempat kalian yang baru.” Kata siCokelat menggebu-gebu.

Bah, aku sama sekali tidak sesering si Centil ataupun yang lainnya meninggalkan tempat kita ini.” Gerutku.

Tapi kan kamu harus besyukur karena cukup sering berjalan-jalan ”.

hai, apa itu, kalian berbicara tentang bersyukur ? Lalu, bagaimana denganku?” Gembrot yang tinggi besar dan gemuk itu ikut bicara.

Penampilanmu juga jauh dari menarik. Kusam, ”Timpalku.

Hargamu terlalu mahal sehingga” Dia ”Tidak mengizinkanmu kamu pergi, ”kata yang lain.

Beberapa yang lain lagi ikut –ikutan memojokkan si Gembrot. Wajah si Gembrot mulai memerah.Sebentar lagi akan turun hujan air mata. Si gembrot memang cengeng ,ia sering meratapi nasibnya yang malang. Ia seolah-olah di takdirkan untuk tidak meninggalkan ruangan ini. Ruangan yang begitu menjemukkan bagi kami.

Sudahlah, Terdengar suara yang berat di atasku. Si Unggul, dia yang paling berwibawa diantara kami. Kami pun diam semuanya.Tinggal suara isak si gembrot yang mengiris hati.

Kalau kalian semua jenuh dengan tempat ini, apalagi orang lain .... Pasti lebih jenuh. Apalagi melihat raut muka kalian yang tidak menyenangkan. ”

Lalu kami harus bagaimana dong?”

Yaa... positive-thinking saja. Dan senyum jangan lupa tersenyum. Senyum itu membuat kalian semua lebih menarik. Aku yakin orang-orang juga akan senang mengajak kalian pergi, ”Unggul melanjutkan.

Ah, bijaknya. Memang si unggul tidak sekedar bicara. Dia ramah apkah benar karena itu maka orang-orang suka mengajaknya pergi?

Hai, lihatlah” Dia” tiba-tiba Unggul mengagetkan kami. Serentak kami melihat kearah”si dia”. Lelaki itu sedang tersenyum melayani seorang bapak yang sering mengunjungi tempat ini.

Kalian seharusnya malu pada” dia”. Seharusnya dialah yang pantas merasa jenuh diantara semua penghuni tempat ini.”dia” bisa dengan mudah meninggalkan

tempat ini.Tapi itu tidak dilakukannya. ”Dia” tetap tersenyum kepada orang-orang yang juga pada kita .” kamipun tertunduk malu.

Tanpa kami sadari, mat-mata kami mengikuti kearah perginya si ”Dia” dan si bapak yang sering kesitu.

Ada apa sih, Pak Zen, ko kayaknya penting banget? ”Tanya si ”Dia” pada si bapak.

Kamu itu .... menurut saya hebat, Lho”

Hebat? Ah....”

Iya, hebat. Bayangkan anak muda seperti kamu, pintar, kok mau-maunya bekerja di tempat seperti ini. ”

Wah gawat .... provokator nih. Aku dan teman-teman mulai sikut-sikutan dan kasak kusuk. Unggul menenangkan dan menyuruh kami melanjut kan mendengar.

Pak Zen .... Pak Zen..... begitu saja kok hebat. Pendidikkan saya pas-pasan. Saya bukan orang kuliahan . Sudah bagus dong saya sudah dapat pekerjaan di sini”.

Ya enggak dong. Diluar sana banyak lulusan SMU yang bekerja di tempat-tempat yang penuh tantangan. Tidak membosankan seperti di tempat ini. Kalau ada kesempatan kamu mau enggak keluar dari sini ? ”.

Memangnya ada lowongan buat saya?”

Lha iya. Makanya saya berani ngajakin ngomong masalah ini ?”

Maaf, Pak Zen .... saya hanya tahu bahwa saya sekarang punya pekerjaan. Saya harus bersyukur dan bekerja sebaik mungkin atas kesempatan yang saya punya ini.”

Ok. Saya paham kamu kok. Terus terang, Idealisme kamu itulah yang membuat saya tertarik untuk sering ke sini.Juga membuat saya ingin bertemu dengan kamu, sayang sama kamu. Kamu seperti saudara atau keponakan buat saya.

Kami semua merasa lega mendengar jawaban itu. Kami tidak dapat membayangkan Apabila si ”Dia” menyambut gagasan Pak Zen. Tidak sanggup rasanya di tinggalkan olehnya. Siapa lagi yang mengelola tempat ini? Siapa lagi yang mau memperhatikan kami? Seandainya ada gantinya apakahb sebaik dan seramah dia.

Percakapan itu sudah dua minggu berlalu. Namun kami merasa senang. ”Dia ” masih setia bersama kami.”Dia” masih setia dengan senyum dan pelayanan ramahnya kepada siapa yang datang ke sini. Keesokkan harinya datang seorang gadis bernama Nayla. Tampangnya lumayan manis tetapi tingkah lakunya kurang manis. Sejak pertama kali datang ke sini sekitar sebulan yang lalu, ia hampir tiap hari datang. Tidak hanya itu gadis Centil itu hanya mau duduk dekat ”Dia” , maunya ngobrol lama-lama. Membuat orang lain memberengut karena merasa terganggu. Bahkan Nayla berani membawakan berbagai hadiah untuk si ”dia”. Suatu hari ia membawakan kue taart, burger, pizza, Fried chicken …… Selalu disertai kerlingan maut.

Tebak, saya bawa apa, mas?

Apalagi, Nayla?”

Ini nich …. Yakiniku, syabu-syabu, tempura …. “

Apa itu ?”

Wah …. Kampungan banget sich mas. Ini makanan saya beli dari resto ala jepang.”

Iya nggak bakalan saya makan. Saya tidak suka sama makanan ala jepang

Selama ini si ”Dia” sama suntuknya dengan kami dengan kedatangan Nayla yang bertubi-tubi. Si Centil yang sudah kembali keruangan sangat tidak terima ada yang lebih centil darinya. Si Gembrot lebih tidak terima. Nayla menghabiskan waktu si ”Dia” sehingga tidak sempat memperhatikan kami dengan baik. Aku juga tidak suka pada Nayla. Bahkan si Unggul yang paling bijak pun, menghela nafas panjang setiap melihat kedatanganya. Kami tidak tahu harus berbuat apa untuk mengusir gadis kecil itu.

berdoa, yuk .... ajak si Centil. ”Kami yang terperanjat dengan usulnya itu hanya menurut saja.

Hari ini, pagi-pagi sekali Pak Zen datang, seprti beberapa saat yang lalu.

lagi pengin ngobrol sama saya yach, Pak” tanya si dia.

jangan Ge-er, iya .... ini saya ngantar keponakan saja

Saya sudah berpikir .... dan saya putuskan untuk.... maaf ,Pak Zen .... Apakah tawarannya tempo hari masih berlaku buet saya?”

Pak Zen melongok kemudian mengangguk terburu-buru. ” Kenapa kamu putuskan ini? ” Tanya Pak Zen msih tidak percaya.

Menurut Bapak karena apa?” Nayla, saya tidak tahan lagi menghadapi dia, saya harus segera pergi dari tempat ini.”

Terimakasih buat Nayla. Karena dia kamu menerima tawaran saya. Tapi bagaimana kalau di tempat yang baru ada, Nayla-Nayla yang lain?

Si ”Dia” tampak bingung sesaat.

Ku rasa kamu harus cepat menikah.”

Si ”dia” terperanjat sebentar

Mungkin Pak Zen benar”.

Tiga hari berlalu. Tiga hari pula Nayla duduk termenung di meja tempat si ”dia” biasa menyapa para pengunjung perpustakaan ini.Matanya berkaca-kaca. Wajahnya sendu. Khas seorang gadis yang patah hati. Kami pun patah hati. Kepergian si ”Dia ” menorehkan kesedihan yang dalam. Penggantinya tidak setelaten dia merawat kami. Kurang ramah. Kurang berkesan dan kurang-kurang yang lainnya.

Namun begitupun, segala sesuatu tetap berjalan seperti biasa. Si Centil yang novel pop tetap laris di pinjam orang. Si Cokelat dan aku yang buku referensi tetap jarang di pinjam orang. Si Unggul yang buku andalan tetap berwibawa. Si Gembrot yang ensiklopedi tetap hampir tidak pernah di jamah dan di baca, apalagi di pinjam. Hanya satu hal yang berubah sejak kepergian si ”Dia” Perpustakaan ini semakin di penuhi debu-debu, karena semakin jarang pengunjungnya.

~~~∞۝∞~~~

Lina Purnama S



DALAM SATU PENCARIAN



Tangan lincah itu terus memoleskan cat warna di atas kanvas. Keringatnya membasahi sekujur tubuh, Tapi dia tak berhenti melukis. Dia terus melukis tanpa berkedip. Lelaki muda itu seperti kerasukan setan. Sepertinya dia diburu waktu yang memaksanya untuk menyelesaikan karya yang sama sekali tidak dia bayangkan.

Yang pasti, dia ketakutan. Bergetar hatinya seakan berontak. Matanya terbelalak kaget, ketakutan mendekap erat tubuhnya. Kuas akhirnya terlepas dari jari tangannya. Ia mengerjapkan matanya yang silau melihat cahaya yang begitu terang. Cahaya itu terpancar dari lukisan yang dia buat, lukisan yang tidak pernah dia mengerti bentuknya. Cahaya itu semakin terang, seolah-olah akan membutakan matanya. Lelaki itu menutup mata dengan kedua tanganya yang bergetar, kemudian sekuat tenaga dia berteriak.

Tidak…!!!” lelaki berteriak memecahkan keheningan malam. Tiba-tiba lampu kamar menyala. Seseorang telah memencet tombol stop kontaknya.

Kamu kenapa lagi, Dave?” Jhon mengucek kedua matanya, ditatapnya Dave dengan wajah heran. Dave masih terengah-engah, nafasnya memburu. Mungkin mimpi buruk itu terulang kembali malam ini. Tanpa menunggu perintah, Jhon memberinya segelas air minum.

“Mimpi itu begitu nyata dan aku tak mampu menghentikan perintah itu.” Dave berkata dengan ketakutan yang tidak bisa dia sembunyikan. Sudah dua malam Dave bermimpi aneh dan akhirnya berteriak histeris, mengagetkan Jhon yang tidur di sampingnya.

“Tapi mana mungkin terulang lagi, Dave?” tanya Jhon, tidak percaya pada semua yang dibicarakan temannya.

“Aku bersumpah, suara itu menyuruhku melukisnya dan akhirnya tulisan itu bercahaya sangat terang. Lalu tiba-tiba aku merasa tidak berarti, Jhon.”

Dave menghela nafas, diceritakanya semua mimpi yang terangkum jelas di ingatannya. Sudah dua kali Jhon mendengar penjelasan itu, malam ini genap tiga kali penjelasan tentang mimpi itu diulang Dave. Jhon melirik jam dinding, detiknya terdengar semakin nyata dan keras. Udara malam terasa begitu dingin dan menusuk tulang. Tepat jam dua dini hari. Jam itu tidak berbohong. Sudah tiga kali Jhon terbangun oleh teriakan Dave di jam yang sama.

“Tidurlah, aku yakin semua itu hanya bunga tidurmu saja,” tawar Jhon.

“Tapi Jhon, aku tidak berdusta.”

“Siapa yang bilang kamu berdusta, Dave? Lanjutkan tidurmu dan maaf, aku tidak terbiasa tidur dengan lampu terang benderang!” lampu kamar itu tidak terang lagi, kegelapan menyelimuti mereka.

“Ya, rupanya aku terlalu mendramatisasi mimpi tadi,” gumam Dave pelan, ditariknya selimut dan Dave mencoba menghitung domba. Suatu cara ampuh menjemput tidur. Entah hitungan yang keberapa, Dave tidur.


Di kamar yang lain, Aisyah masih memejamkan matanya. Diangkatnya tangan untuk berdoa dan memohon.

“Tiupkanlah kebenaran di dadanya, ya Alloh.”

Masih banyak waktu yang tersisa untuk bercumbu dengan kekasihnya, Alloh. Namun pagi itu Aisyah tertidur di atas sajadah sambil mengenggam tasbih. Dia terbangun ketika azan pertama berkumandang. Aisyah masih mengantuk tapi dipaksanya bangun. Apalagi pagi ini dia ada kuliah jam tujuh.

“Alhamdulillah, bagaimana tidurmu semalam, Dave?” batinnya bertanya.


Sudah hampir dua bulan Dave dan Jhon kembali ke Indonesia, menempati rumah yang dulu ditinggalkan mereka. Hampir delapan tahun kakak beradik itu pindah ke Amerika dan meninggalkan Indonesia. Awalnya, ketika bertemu kembali Dave dan Aisyah begitu canggung untuk bertegur sapa. Untung ada Mama Aisyah yang mengawali obrolan.

“Aisyah, ini Dave yang dulu sering main ke rumah. Itu lho, temen SD kamu yang sering bikin kamu menangis.”

Dave tersenyum malu, jelas saja dia ingat kejadian SD dulu. Selalu saja Aisyah menangis karena Dave. Dicubitlah, diacak-acak rambutnyalah. Aisyah pun masih ingat Dave. Delapan tahun lalu Dave memberinya sebuah lukisan perpisahan. Lukisan itu masih tergantung di kamarnya dan Aisyah tidak pernah lupa kata-kata perpisahan Dave kecil delapan tahun lalu.

“Aku melukis rumah ini supaya ketika aku kembali lagi, kita akan menikah dan membangun rumah yang sama persis dengan yang ada di lukisan ini.”

Ah, tentu saja itu ucapan Dave kecil delapan tahun yang lalu. Anak ingusan mana mengerti arti pernikahan. Dave yang sekarang berdiri di hadapannya adalah Dave remaja blasteran Amerika-Sunda yang tampan. Dengan rambut kecokelatan dan mata biru sejuk, ah, Dave jauh berubah. Amerika telah mengubahnya dan Dave kembali jelas-jelas bukan untuk menikahi Aisyah, melainkan menghabiskan liburannya dan melukis keindahan tempat-tempat di Indonesia.

Mama meninggalkan mereka berdua, tapi Aisyah masih terdiam. Lidahnya tertutup rapat, kelu untuk berucap.

“Kamu begitu berubah, Dave?” ucap Aisyah pelan, ditundukkannya pandangan. Dia tidak mau mengakui keindahan ciptaan Alloh yang ada di hadapanya sekarang, sekaligus menjalankan perintah agama. Dave hanya tertawa.

Bukan hanya aku yang berubah, tapi juga kamu.” timpal Dave sedikit menggoda.

“Kenapa? Apa yang berubah dalam diriku?”

“Banyak sekali. Yang terpenting, kamu tampak semakin cantik.”

Rona wajah Aisyah menjadi merah, kenangan masa SD-nya kembali memenuhi ingatan. Biasanya Aisyah akan memukul Dave kecil yang selalu menggodanya. Ketika Aisyah meninjukan tangannya ke arah Dave yang masih tersenyum, Aisyah ingat satu hal. Dave bukan muhrimnya. Lalu Aisyah mengurungkan niat dan meremas kedua tangannya.

“Kenapa tidak jadi memukul? Aku malah kangen pukulan kamu.”

Ah Dave tidak mengerti galaunya hati Aisyah. Semua sudah berubah, Dave. Aisyah begitu sulit menjelaskannya karena mereka berbeda kepercayaan.

Sejak pertemuan itu Dave sering menelepon Aisyah, padahal rumah mereka hanya terhalang jalan. Obrolannya seputar kangennya Dave pada Aisyah yang selalu dia pendam selama delapan tahun. Ingin rasanya Aisyah menjawab bahwa dia juga rindu Dave. Tapi selalu ditahannya agar kata-kata terlarang itu tidak keluar dari lidahnya.


“Kamu jangan katakan kalau kamu masih mencintainya,” Tesa berkata tegas. Semenjak kedatangan Dave, Aisyah selalu menyibukkan Tesa dengan curhatnya. Dengan penuh antusias, Aisyah menceritakan semua tentang Dave dan Jhon.

“Itulah masalah terberatnya. Aku menyayangi Dave sejak kecil dan aku begitu merasa kehilangan ketika Dave pindah. Aku selalu merasa bersalah bila saat ini aku menyayanginya, bahkan lebih dari itu,” jujur sekali Aisyah mengungkapkan perasaannya. Itu membuat Tesa khawatir.

“Istigfar, Aisyah. Mana bisa kamu memupuk perasaan itu di hatimu? Dave itu atheis, Dave delapan tahun yang lalu itu bukan sekarang! Bukankah itu sering kamu ucapkan dulu?”

“Iya, aku mengerti,” Aisyah tak mampu lagi menahan air matanya, pertahanannya jebol. Air mata kembali membasahi kedua pipinya. Ah, mengapa imannya begitu lemah? Tesa merangkul dan membiarkan sahabatnya menangis agar tenang.

“Banyak berdoa, ya. Aku akan membantu kamu.”

Cinta telah menyapa hati Aisyah, membawanya pada dunia yang asing dan membuatnya terlena. Bayangan Dave masih menghantuinya, senyum Dave membuat hatinya berbunga-bunga. Ah, Aisyah tertunduk lesu. Siang ini Dave pasti sedang menunggu kedatangannya di rumah. Sungguh sulit untuk menghindari Dave.

Taksi yang membawa Aisyah berhenti di depan rumah. Dave berlari menuju arah taksi dan membuka pintunya untuk Aisyah. Senyum itu kembali menyapa Aisyah, membuatnya rikuh.

Ku menunggu kamu so long, honey,” ucap Dave agak kesal.

Teg, jantung Aisyah serasa berhenti berdetak. Honey? Sayang? Mungkin ucapan itu terlalu biasa untuk Dave, tapi serasa begitu istimewa di telinga Aisyah. Honey ternyata mampu membuat rona wajah yang berbalut jilbab itu menjadi tersipu malu.

“Aku ada pengajian di kampus, jadi terlambat datang.” pelan sekali kalimat itu, entah Dave mengerti atau tidak apa sebenarnya pengajian itu. Yang jelas Dave tersenyum.

I got a bad drem last night,” Dave menatap Aisyah tajam.

“Mungkin kamu tidak berdoa sebelum tidur,” Dave menatap Aisyah dengan tatapan aneh. Terlambat untuk Aisyah menyadari ucapan yang baru saja diucapkannya. Dave terdiam lama.

“Berdoa,” desisnya pelan. Kata yang terlalu asing untuk Dave. Kapan terakhir dilakukannya, dan bagaimana cara melakukannya?

“Maafkan aku, Dave,” Aisyah mengucapkannya dengan sangat pelan. Dia menyesal telah mengucapkan kalimat tadi. Di luar dugaan, Dave malah tertawa, meski tidak ada yang lucu untuk mereka.

“Aku tidak marah, untuk apa minta maaf? Begini saja, gimana kalau kamu ajarkan aku berdoa. Aku yakin kamu pasti mau.”

“Mengajarkan berdoa?” tanya Aisyah, kaget.

Yes. You. Why not?” ulang Dave untuk meyakinkan Aisyah. “Tapi tidak sekarang karena sore ini aku dan Jhon ada janji. Bagaimana kalau besok pagi?” Dave bisa menangkap kegelisahan di wajah Aisyah, tapi dia terlalu sukar mengartikan semua itu. Dave yakin, ada sesuatu yang disembunyikan Aisyah darinya. Aisyah semakin terdiam, dia tidak tahu harus berkata apa. Akhirnya Aisyah pamit pulang dan ketika Dave mengantarnya ke depan rumah, Dave tampak enggan ditinggalkan.

Ditatapnya gadis yang berdiri dihadapannya. Hati kecilnya tidak mampu berdusta pada rasa yang terus mengusiknya.

“Ada apa, Dave?” Aisyah menghentikan tatapan Dave.

No. I believe that everything can be change, Aisyah. Except my heart to you.

“Udahlah, Dave,” bantah Aisyah.

“Kenapa, Aisyah? Kita bukan anak kecil seperti dulu lagi, aku yakin pasti kamu mengerti perasaanku. Tapi mungkin kamu pura-pura tidak mengerti.”

Kini mereka terperangkap dan Aisyah tak berani menatap wajah Dave. Semua telah berubah. Siapa dirinya dan siapa Dave? Hati Aisyah terus sibuk berdoa, berharap agar ia bisa segera pergi.

“Ya, aku tidak mengerti kamu. Tapi yang jelas aku masih berharap mewujudkan semua mimpi-mimpi delapan tahun yang lalu,” Aisyah menatap Dave sekilas. Kemudian membuang tatapanya ke arah jalan.


Hujan masih turun menitik, hembusan angin menggoyangkan tirai-tirai kamar Aisyah. Sejak maghrib tadi Aisyah tidak beranjak dari sajadahnya, mata itu sembab karena mengisak. Begitu dahsyatkah perasaannya kepada Dave hingga membuatnya menangis dalam peraduan ranjang yang panjang?

Ditatapnya lukisan pemberian Dave delapan tahun silam. Tatapanya mengabur dan air mata masih mengenangi kedua bola matanya. Tapi lukisan itu masih tergantung dan rumah kecil yang dilukiskan masih tegak berdiri.

Aku melukis rumah ini supaya kelak aku kembali lagi, kita akan menikah dan membangun rumah yang sama persis dengan yang ada di lukisan ini.”

Kata-kata Dave kecil semakin terngiang ditelinganya, Aisyah semakin terisak.

“Itu tidak mungkin, Dave,” ucapnya dengan bergetar.


“Mengapa tidak mungkin?” umpat Dave kesal, dipandangnya lukisan yang masih basah dengan perasaan haru dan takjub. Dave ingin berteriak pada seluruh dunia karena dia berhasil mewujudkan lukisan yang selalu menghantui mimpi-mimpinya. Hasil karyanya selesai dalam dua hari, hal yang begitu singkat untuk seorang pemula seperti dirinya yang menjadikan melukis sebagai hobi yang menyenangkan.

Dave begitu penasaran dengan lukisan yang baru jadi itu. Dia ingin mencari orang yang mampu membaca tulisan aneh yang baru pertama kali dia lihat dan mampu dia lukis dalam kanvas. Semua itu telah nyata, bukan hanya mimpi, hati kecil Dave berkata lain. Dave yakin lukisan itu mengandung arti yang harus dia ketahui secepatnya.

“Aku bingung menjelaskannya, Dave,” Jawab Agung dengan ketakutan. Anak tukang kebun yang menjaga rumah Dave tertunduk lesu. Ada sesuatu yang tidak bisa dia katakan dan dia merasa terlalu bodoh untuk menjelaskan arti dari lukisan yang dibuat majikan mudanya. Bagaimanapun Agung merasa aneh, mengapa Dave yang notabenenya seorang atheis bisa melukis tulisan Arab semacam kaligrafi yang dilukis sedemikian indah dengan warna yang sejuk dan cerah?

I will understand, tell me now! Okay?” Dave memaksa lagi dan Agung bisa melihat keingintahuan yang begitu besar dalam sorot mata majikannya. Hati Agung berbisik, “Bismillahirohmanirohim, lancarkan lisanku ini, ya Alloh.”

Penjelasan itu mengalir lancar dari lisan Agung. Dave terlihat begitu kaget dan dia begitu tidak mengerti semua maksud penjelasan Agung.

Jadi tulisan ini berarti kata-kata Tuhanmu?” tanya Dave dengan terkesima. Dirabanya lukisan itu dengan tangan bergetar. Kebahagiaan dan ketakjuban telah memenuhi seluruh rongga hatinya.

“Iya. Tiada Tuhan selain Alloh dan Nabi Muhammad utusan-Nya,” jawab Agung dengan tegas. Ada nada ketaatan diucapkannya.

“Pasti ini juga Tuhan Aisyah. Ya, aku ada ide bagus! Lukisan ini harus diberikan pada Aisyah,” gumam Dave pelan, senyumnya tersungging manis di bibir.

“Saya pergi dulu ya, ada kerjaan yang belum selesai,”

Wait, tolong kamu tulis kalimat tadi dengan huruf latin di kertas ini. Aku akan berterima kasih padamu.”

Langkah Agung terhenti. Dihampirinya Dave yang masih berdiri mematung di depan lukisan. Dave memberinya secarik kertas dan Agung menulis kalimat latin dan artinya.

“Terima kasih, semoga Aisyah suka lukisan ini,” gumam Dave pelan. Ada perasaan janggal di hati Dave. Dibacanya berulang kali tulisan Agung. Tiba-tiba Dave merasa hawa dingin menyergapnya dan bulu romannya meremang. Detak jantungnya berpacu cepat, serasa ada suara gaib yang menuntunnya untuk mengulang kalimat di kertas itu.


Matahari memanggang kota kembang dengan sinarnya yang terik. Dave berdiri di balkon rumahnya, memandang arah jalan. Setiap angkutan yang melintas tak luput dari intaiannya, tapi Aisyah belum datang juga. Setiap detik terasa terlalu lambat untuk Dave. Dibayangkannya Aisyah yang kegirangan mendapat lukisan darinya, kemudian gadis itu akan mengecup pipinya dan memeluk erat tubuhnya. Membayangkan itu, Dave menjadi geli sendiri. Mana mungkin Aisyah berani seperti itu sendiri? Memandang wajah Dave saja seperti enggan, Aisyah selalu mengalihkan pandangan darinya.

Aisyah memang jauh berubah. Selama ini Dave dan Jhon menganggap hali itu sebagai suatu hal yang tidak biasa. Amerika mengajarkan gadis-gadis untuk berterima kasih dengan memeluk atau mencium pria yang memberinya perhatian atau hadiah. Aisyah malah berbeda, ucapan terima kasihnya begitu hambar, seperti sayur tanpa garam.

“Mungkin Aisyah masih canggung,”tawar hati Dave. Mereka lama tak berjumpa, bahkan Dave pernah lupa pada Aisyah ketika Dave kencan pertama dengan Jane, sewaktu usianya sebelas tahun.

Dave tersentak dari lamunannya ketika sebuah angkot berhenti tepat di depan pagar rumah Aisyah. Sekuat tenaga Dave memanggil Aisyah dan melambaikan tangannya.

Wait me there. I’am going to give you something!” Dave berteriak lantang. Aisyah tersenyum memandang tingkah laku Dave. Pemuda itu seperti mendapat harta karun ketika melihat Aisyah.

Dengan berlari Dave menuruni tangga dan mengangkat lukisan yang telah dibungkus kertas koran. Dave berjalan keluar halaman rumah. Senyum Dave terus tersungging dengan manis, dia yakin betul Aisyah akan berterima kasih padanya meski tanpa memberinya ciuman di pipi.

Aisyah masih berdiri dan menutup kepalanya dengan map hijau. Bandung memang benar-benar panas siang itu. Sebuah truk melaju dengan kecepatan penuh. Dave baru tiga langkah menapaki jalan aspal ketika truk itu menabrak tubuhnya hingga terpelanting beberapa meter.

“Dave!!!” Aisyah berteriak keras.

Dave bersimpah darah, tangannya masih berusaha mencari lukisan kebanggaannya. Namun Dave tak mampu menahan nyeri yang membelenggunya, Dave tidak ingin tahu seberapa banyak orang yang berteriak histeris dan mengerumuninya. Dave hanya ingat tulisan lukisan itu, seakan Aisyah memberinya kekuatan untuk meraba hasil karyanya. Hati Dave terus berbisik pelan.

“Laa Illahaillalloh, Muhammad utusan Alloh…”

Mata itu tertutup untuk selamanya.


~~~∞۝∞~~~




Hernowati Utami D.



PUTRA SEORANG PEMATUNG



Prasetya, sang Pematung, menerima model baru bernama Mitra di studionya dan si Model terkejut saat melihat foto besar seorang lelaki tampan di dinding studio itu. Ingin sekali Mitra menanyakan, mengapa foto besar lelaki yang sangat dikenalnya terpasang di dinding studio Prasetya? Apakah lelaki muda yang tampan itu adalah juga seorang model? Tetapi pertanyaan itu ditahan Mitra. Ia merasa lebih afdol bila bertanya langsung pada lelaki tampan yang menyebut dirinya Rendy itu.

“Baca iklan di koran lokal hari ini, ya?” tanya si Pematung sambil memandangi wajah dan seluruh tubuh Mitra. Mata Prasetya agak lama mengamati tubuh Mitra yang langsing dengan dadanya yang montok. Bibirnya yang tipis dan basah selalu mengulum senyum.

“Teman yang bilang tentang iklan yang membutuhkan model patung itu,” jawab Mitra.

Masih kuliah?”

Ya, kuliah siang.”

Fakultas apa?”

Ekonomi, semester delapan, “ jawab Mitra seraya melirik foto Rendy di dinding sebuah bilik sebelah timur, di dekat foto seorang perempuan cantik bertubuh seksi yang dikenalnya sebagai seorang model profesional.

“Sering jadi model kalender dengan lukisan, ya?” tanya Prasetya, mengacaukan lamunan Mitra tentang hari-harinya bersama Rendy.

“Ya. Habis bagaimana, Om, kiriman dari keluarga dihentikan sejak Papi meninggal satu tahun yang lalu. Aku perlu uang banyak, untuk bayar kos, makan, persiapan skripsi, keperluan hari-hari,” tutur Mitra.

Biasa jadi model full open, ya?” tanya Prasetya memancing.

Tergantung kesepakatan dan bayarannya, Om.”

Oh ya. Aku biasa memakai model dari luar, termasuk perempuan Thailand, Italia, Jepang, Filipina dan Prancis yang romantis. Mereka itu profesional dan minta bayaran mahal,” tutur Prasetya sejujurnya. Lalu keduanya bernegosiasi untuk pemotretan tanpa penutup tubuh. Negosiasi itu berlangsung alot. Mitra mengajukkan tarif tinggi dan Prasetya terus menawar. Setengah jam kemudian barulah keduanya menemukan harga yang cocok.

Besok pagi-pagi sekali pemotretan di sini. Saya sendiri yang memotret. Habis, memakai fotografer profesional akan lebih mahal jadinya.”

Tiba di sebuah wartel setelah meninggalkan studio Prasetya, Mitra menelepon Rendy.

“Ha? Prasetya itu ayah saya,” sahut Rendy sangat terkejut. ”Kau melamar jadi modelnya? Kenapa enggak bilang padaku dulu?” Rendy seakan menyesali.

“Memangnya ada apa?” Mitra pun heran. Ada juga perasaan dibatasi oleh Rendy di dalam hati Mitra.

“Pukul enam aku pulang dari kuliah,” tukas Mitra.

“Ya, tunggu saja,” kata Rendy. “Tapi, apa pun yang telah terjadi antara kita, rahasiakan pada Ayah,” lanjut Rendy.

“Oke! Aku janji. Sure,” jawab Mitra.

Di kantor travel tempatnya bekerja, Rendy melamun usai makan siang. Dia mulai membayangkan kemolekan tubuh Mitra, kekasihnya, akan diamati secara cermat oleh ayahnya. Secara perlahan tumbuh perasaan cemburu di lubuk hati Rendy. Selama ini Rendy ikhlas Mitra jadi model kalender atau foto di studio orang lain. Tapi ini? Apa yang akan di studio ayahnya sendiri?

Keringat membasahi sekujur tubuh Rendy. Ruang berpendingin seakan tidak berfungsi. Rendy gelisah. Dia terkenang pada ibunya yang dipanggilnya Bunda. Prasetya memanggilnya Sinta. Dahulu Sinta adalah model patung. Lalu dinikahi Prasetya. Sinta melahirkan anak tunggal yakni si Tampan dan Cerdas Stevanus Rendy Prasetya, yang sering disapa Rendy. Seminggu setelah melahirkan Rendy, Sinta meninggal karena kehabisan darah. Dokter di kabupaten tidak berhasil menolongnya. Rendy menjadi anak piatu. Model-model Prasetya berikutnya adalah gadis-gadis muda dan selalu dipacari Prasetya. Sejak Sinta berpulang, pematung romantis itu tidak berminat menikah lagi. Dia senang berpacaran. Hal itulah yang mencemaskan Rendy.

“Apa jadinya bila bersaing dengan Ayah?” pertanyaan itu mendadak muncul di hati Rendy. Dia tambah gelisah. Saputangannya sudah basah oleh keringat yang terus mengalir.

Prasetya bertubuh tinggi, besar, kekar, atletis dan wajahnya tampan. Matanya seperti magnet, mampu menarik hati lawan jenis yang menatap mata indah itu. Rendy benar, setidaknya sudah enam model jelita bertekuk lutut pada Prasetya. Tidak termasuk Sinta, Bunda Rendy. Selama ini Mitra belum dikenalkan Rendy pada Prasetya.

Di rumah kos Mitra, soal daya tarik Prasetya itu diuraikan panjang lebar oleh Rendy pada kekasihnya itu.

“Ha ha ha ..... !” Mitra tertawa ngakak setelah mendengar uraian Rendy tentang ayahnya yang bagai magnet itu. ”Terus terang, Mas Rendy, begitu memandang matanya untuk pertama kali, aku sudah terpikat. Harga yang ditentukannya, segera kusetujui. Sejak jumpa Prasetya, aku selalu merindukannya. Aku ditarik-tarik rasa rindu untuk segera bertemu kembali dengannya,” tutur Mitra sambil tersenyum bahagia.

Kau bercanda, Mit?” potong Rendy.

Aku serius,” jawab Mitra.

Lalu Rendy menceritakan ihwal Gayatri, Natasya, Serly, Prely, Nina dan Candraningtias, enam mahasiswa yang jadi model ayahnya. Keenamnya rela difoto polos dan menjadi pacar Prasetya selama proses penciptaan patung untuk memenuhi keinginan kolektornya dari luar negeri.

Kau tahu, tidak ada pemaksaan?” tanya Mitra.

Tidak. Ayah dan model-model itu suka sama suka. Tidak di studio saja. Ayah dan model-model bercengkrama sampai ke kamar Ayah.”

Suka sama suka?” tanya Mitra.

Ya, suka sama suka. Termasuk dengan Regina, modelnya yang terakhir. Informasi ini kusampaikan sejujur-jujurnya padamu, Mitra, karena kau adalah calon ibu dari anak-anakku. Ketahuilah, para model itu sudah dikontrak di studio dan dibayar. Urusan-urusan lain dengan kamar, dapat kupastikan tidak tercantum di dalam kontrak. Ingat, Mitra! Ini rahasia perusahaan Ayah. Tak boleh bocor kepada siapapun. Kau janji, ya ?”

Mitra mengangguk. Senyum lucunya sesaat tadi lenyap dari bibir tipisnya. Dia memegang erat-erat kelima jari tangan kanan Rendy, seperti lambang sebuah ikrar.

Kapan janji bertemu Ayah?”

“Besok pagi-pagi pukul sepuluh. Semua janji dengan orang lain telah dibatalkannya. Besok adalah hari khusus untukku dan Prasetya,” cerita Mitra..

Besok, kami menandatangani kontrak kerja dengan pembayaran lima puluh persen untukku,” Mitra menyebut sejumlah juta yang akan diterimanya begitu selesai tanda tangan kontrak.

Tidak ada eksploitasi oleh salah satu pihak, bukan?” tanya Rendy.

No way! Tidak sama sekali! Aku merasa kami sejajar. Tanpa kesejajaran, aku tidak rela. Betapa pun sulit masalah yang kuhadapi di tanah rantau, aku tidak akan luluh! Aku tidak mau gugur sebelum menjadi buah. Itu janjiku pada hatiku. Itu janjiku pada Tuhanku.”

“Kuharap, kau tidak merasa kuintervensi. Kau merdeka berkreasi sebagai perempuan dewasa. Aku tidak akan pernah memaksakan kehendak. Aku pun tidak akan membunuh kreativitasmu sampai kelak kau menjadi ibu dari anak-anak kita.” jelas Rendy.

“Aku tahu, Mas Rendy berjiwa besar. Hidup seseorang memang otonomi milik seseorang itu, sejauh tak menyulitkan pihak lain. Itulah kelebihan Mas Rendy dibandingkan orang lain,” puji Mitra tulus.

“Ingat Mitra, pernahkah aku merayumu untuk menodai kesucian dirimu dan cinta kita?” suara Rendy menjadi perlahan. “Untuk itu, aku telah berjuang dan bertahan seumur kita berpacaran, selama empat setengah tahun. Bagi orang lain, pacaran gaya kita di kota besar ini mungkin dinilai naif, tak proporsional dan kuno. Tapi tidak semua yang kuno dan tradisional itu usang, lapuk, dan tidak berguna, bukan? Tapi, soalmu dengan Ayah, itu urusan kalian. Kau punya naluri perempuan yang peka dan kematangan intelektual dalam menilai sangat sesuatunya. Semuanya terserah padamu, ya?” kata Rendy sebelum pamitan.

Malam memang telah larut. Bulan makin jauh melayang ke kawasan barat. Dingin malam bertambah menusuk-nusuk.

Esok paginya, kota diguyur hujan deras. Ke mana-mana. Penghuni kota membawa payung dan jas hujan. Prasetya telah menyiapkan payung besar di depan studio untuk menyambut kehadiran Mitra, model belia yang cantik dan bertubuh seksi itu. Surat kontrak telah dia siapkan beserta selembar cek kontan untuk pembayaran lima puluh persen honor buat Mitra. Prasetya berdebar tatkala melihat jam di studionya menunjukkan pukul sepuluh kurang lima belas menit.

Telepon di studio Prasetya berdering nyaring. Prasetya menyangka, itu dari Mitra, calon modelnya yang sedang dalam perjalanan menuju studionya.

“Ya, benar, ini studio Prasetya. Oleh apa? Begitu? Maafmu kuterima, kuterima. Oke! Oke.....”

Telepon itu dari Mitra. Dia mohon maaf karena membatalkan perjanjian lisan jadi model Prasetya.


~~~∞۝∞~~~

Rina Setiyani



DILEMA



Sebenarnya, bisa saja aku menuruti kehendak Mas Afri untuk mengikuti dan meninggalkan tempat pengabdianku di sini, walaupun keputusan itu teramat berat bagiku. Kami sudah lama menjalin hubungan, bahkan orang tua kami masing-masing sudah saling kenal dan telah menyetujui hubungan kami berdua.

Aku mengenalnya lewat pertemuan yang tidak di sengaja di dalam bis kota. Ketika itu, aku telah duduk di semester tiga, sementara Mas Afri duduk di semester lima. Kami satu almamater namun lain fakultas. Mas Afri di Fakultas Ekonomi sedangkan aku di Kakultas Keguruan Program Pendidikan Diploma Dua atau sekarang lebih dikenal dengan nama PGSD.

Masa belajarku hanya lima semester sehingga aku lulus lebih dahulu daripada Mas Afri. Alhamdulillah, setelah menunggu panggilan kerja selama hampir satu tahun, aku mendapat panggilan tugas mengajar di sebuah SD terpencil di kabupaten Wonogiri.

Aku menjalaninya dengan penuh pengabdian dan tanggung jawab. Ini adalah cita-citaku sejak dulu, bekerja di tempat yang masyarakatnya belum terkena pengaruh budaya kota yang individualis dan materialis. Walaupun tempat mengajarku jauh, dengan Mas Afri bisa dibilang baik-baik saja dan tak ada kendala. Kebetulan kami tinggal dan berasal dari kecamatan yang sama. Paling tidak dalam sebulan kami bisa saling bertemu, baik di rumahku atau di rumah Mas Afri karena dapat dipastikan setiap sebulan kami pulang ke rumah orang tua masing-masing.

Tanpa terasa waktu berjalan sangat cepat. Mas Afri telah berhasil menyelesaikan studinya tanpa halangan suatu apa. Kami berdua amat senang dan bersyukur kepada Allah.

Sampai pada suatu hari, Mas Afri datang ke rumahku dan kami saling melepas rindu. Mas Afri kelihatan sangat bahagia karena studinya sudah selesai.

“Tin, kemarin aku dapat panggilan kerja!” kata Mas Afri ketika kami baru saja bertemu di rumahku.

“Betulkah, Mas? Aku ikut merasa gembira, tak sia-sia usaha Mas Afri selama ini!” kataku sambil menjabat tangannya. Mas Afri memang pernah bercerita padaku bahwa dia ikut tes Calon Pegawai Negeri Sipil di Semarang. Ternyata dia lulus.

“Lalu, ditempatkan dimana, Mas?” sambungku.

Mas Afri tidak menjawab. Dia termenung dan menatapku lama sekali hingga rasanya mukaku memerah karena grogi. Tidak seperti biasanya Mas Afri bersikap seperti itu, sepertinya ada sesuatu hal yang disembunyikan dariku. Aku tak mengerti mengapa dia tidak kelihatan gembira dengan keberhasilannya. Padahal hatiku bahagia sekali mendengar keberhasilan Mas Afri.

“Aku ditempatkan di Sulawesi…” jawabnya lirih hampir tak kedengaran.

Aku terdiam mendengarnya. Sama sekali tak kuduga bahwa Mas Afri akan ditempatkan di Sulawesi. Aku pikir, Mas Afri akan ditempatkan di sini, di tempat kelahirannya.

“Tin, aku mohon pengertian dan pengorbananmu, maukah kau mengikutiku ke sana ?” tanyanya dengan wajah mengharap.

“Maksud Mas Afri ?”

Mas Afri menghela nafas berat sebelum menjawab pertanyaanku.

“Untuk menunggu aku pindah tugas ke sini rasanya tidak mungkin, paling tidak jika masa kerjaku telah dua tahun, dan itu pun kalau lancar!”

“Aku masih belum mengerti!”

“Maukah kau berhenti bekerja dan mengikuti aku ke sana ?”

Bagai disambar petir rasanya mendengar penjelasan Mas Afri. Aku tidak mengira jika masalahnya jadi serumit ini. Padahal kami sudah berada di ambang keberhasikan dalam membina hubungan dan tinggal melanjutkan ke jenjang yang lebih serius lagi. Aku tak segera menjawab pertanyaan Mas Afri. Sungguh teramat sulit bagiku untuk menentukan pilihan di antara dua alternatif yang sama-sama berat ini. Aku serasa berada di persimpangan jalan tanpa tahu jalan mana yang harus aku tempuh.

“Bagaimana, Tin? Terus terang saja aku teramat mencintaimu dan aku sangat takut kehilanganmu!” Mas Afri menggenggam tanganku erat sekali.

“Aku ingin kamu mau ikut ke sana bersamaku, Tin! Aku tahu ini sangat berat sekali bagimu, tapi apakah kamu mau hubungan yang telah kita bina selama ini harus berakhir hanya sampai di sini?” ucap Mas Afri dengan wajah sangat memelas.

Aku menggelengkan kepala, sama sekali tak kuhendaki hal itu terjadi. Seperti Mas Afri, aku juga sangat mencintainya, bahkan dalam khayalku Mas Afri yang bakal menjadi bapak dari anak-anakku kelak. Lama aku berdiam diri tanpa tahu harus berkata apa lagi. Yang ada dalam pikiranku hanya rasa bimbang dan kalut.

“Bagaimana, Tin?” tanya Mas Afri karena aku masih juga belum berbicara.

“Mas… Rasanya ini sebuah dilema bagiku!” suaraku bergetar, tapi kucoba menahannya sedapat mungkin.

“Maksudmu?”

“Yah, barangkali memang harus begini kenyataannya, Mas. Kita masing-masing mempunyai idealisme dan itu memerlukan pengorbanan. Barangkali pula kita tidak berjodoh, Mas!”

Walaupun aku sudah berusaha menahan air mata, namun tak urung air mataku jatuh juga. Mas Afri memandangku, seakan tidak percaya pada keputusanku. Sebenarnya aku tidak ingin hal ini terjadi, namun harapanku untuk selalu bersama Mas Afri ternyata hanya sampai di sini. Mungkin Tuhan belum mempersatukan aku dengan Mas Afri.

“Mas Afri tahu, aku satu-satunya anak Ibu. Aku anak tunggal, tidak punya saudara kandung. Rasanya tidak mungkin aku meninggalkan tanah Jawa ini untuk mengikuti Mas Afri ke Sulawesi. Aku tak bisa meninggalkan Ibu sendirian di sini. Hanya aku yang diharapkan bisa merawatnya jika Ibu sudah tua, apalagi akhir-akhir ini penyakit Ibu sering kambuh. Jadi aku tidak mungkin tega meninggalkan Ibu sendirian di sini. Mas, kumohon kamu bisa mengerti keadanku saat ini!”

Aku menangis tersedu-sedu tanpa berusaha kusembunyikan. Mas Afri menghela nafas berat, lalu berusaha menenangkan diriku.

“Tak bisakah keputusanmu ini diubah, Tin? Kita bisa membawa Ibu ke sana!” kata Mas Afri.

Aku memandangnya, kemudian menggelengkan kepalaku.

“Rasanya tidak mungkin, Mas. Ibu tidak akan mau jika ikut ke sana! Ibu akan beralasan tidak ada yang merawat makam Ayah di sini!”

Mas Afri tidak bereaksi apa-apa. Matanya memandang ke halaman mengawasi anak-anak kecil yang sedang bermain petak umpet. Tapi aku yakin pikirannya tak di sana.

“Apakah ini keputusan terakhirmu, Tin ?” tegas Mas Afri.

“Barangkali ini yang terbaik, Mas. Kita hanya mampu berharap, tapi Tuhan pasti memberikan yang terbaik bagi umatNya. Kalau memang kita telah berjodoh, tak akan ada yang mampu menghalangi, meski untuk saat ini kita tidak mampu memastikan apakah itu akan terjadi. Kita tidak tahu apa yang akan terjadi besok!” kami berpandangan dengan mata yang sama-sama basah.

“Kuharap kamu dapat menjelaskan masalah ini kepada Ibu, dan kumohon, Tin, jika kamu kelak berjodoh dengan orang lain ku harap kamu mau mengabariku. Kita tetap berhubungan meskihanya sebagai seorang sahabat!” suara Mas Afri kedengaran bergetar dan sangat lirih menahan kesedihan di hatinya.

Aku mengangguk, kujabat erat tangannya ketika Mas Afri akan berpamitan pulang.

“Tin, aku pulang dulu!” ucap Mas Afri sambil memandang wajahku yang masih basah.

“ Ya, Mas, hati-hati di jalan !” jawabku.

“ Salam untuk Ibu ya, Tin. Serta aku harap kamu dan Ibu mau mengantarku ke bandara, karena mungkin selama beberapa tahun aku tidak akan pulang kesini.”

“Kapan Mas Afri berangkat?” tanyaku sedih.

“ Insya Allah kalau tidak ada halangan, aku akan berangkat lusa!” jawabnya.

Aku menganggukkan kepala ketika Mas Afri kembali meminta kepastianku untuk mengantarkannya ke bandara. Idealisme memang memerlukan pengorbanan dan aku rela kehilangan Mas Afri untuk itu.


~~~∞۝∞~~~



Umniyyatuz Zahro



COWOK SMS, IDOLA DAN CALONKU



Inilah, untuk kelima kalinya, nomor asing yang sudah lima hari ini nangkring di hpku, kembali membangunkanku untuk melaksanakan tugas sebagai hamba yang baik. Tepat pukul 03.30 WIB. Aku tak tahu orang misterius yang selalu mengirimiku SMS itu. Ah, siapapun orangnya, laki-laki atau perempuan, aku sangat berterimakasih karena telah setia membangunkanku tiap pagi sebelum subuh. Penasaran juga sih, sampai pernah kutanyakan namanya lewat SMS, tapi dia hanya mengaku hamba Alloh. Kucoba menanyakan ke beberapa teman-temanku, tak ada yang tahu. Ya sudah, aku harus mengubur dalam-dalam rasa penasaranku itu.


Gubraks!!

Astaghfirullohal ‘adzim, maaf Mas, nggak sengaja…”

Cepat kutata buku-buku yang berserakan di lantai. Ceroboh sekali aku, batinku dalam hati. Takut telat sih, jadi aku terburu-buru.

Nggak papa. Kali lain hati-hati ya…” jawab orang itu sopan.

Sekali lagi, maaf ya, Mas!”

Kuserahkan tumpukan buku itu padanya. Aku berlari kecil meninggalkannya. Ketika aku menoleh padanya, dia hanya tersenyum kecil memandangku, manis sekali.

Ass. Ayo bangun, dah siang. Msa klh ma setan, lwn dong!!! Cpt bgn &shlt y…!!!

SMS itu membangunkanku untuk kesekian kalinya. Kalau dihitung-hitung, sudah 17 kali orang misterius itu mengirimiku SMS. Aku sempat berpikir, orang itu nggak bosan ya, ngirim SMS setiap hari ke orang yang sama sekali tidak mengenalnya. Boro-boro kenal, tahu namanya saja enggak. Ketika kutanyakan hal ini padanya (seperti biasa hanya lewat SMS), dia hanya menjawab:

Q g akn prnh bosn m’bgnkn org yg akn m’dmpgiQ. Dah, cptn shlt, ntr kburu sbh. CU.

Nah lho, apa maksudnya? Pacaran saja aku nggak pernah. Jangankan pacaran, kenal saja enggak! Apa selama ini orang itu salah kirim ya? Tau ah, bodo amat.

Assalamualaikum.”

Suara seorang lelaki mengagetkanku sewaktu aku sedang asyik membaca buku di perpustakaan.

Waalaikum salam,” jawabku bingung karena aku tidak kenal orang yang menyapaku ini.

Masih ingat saya? Orang yang Anda tabrak di koridor karena terburu-buru,” jawabnya dengan tersenyum. Senyum itu…

Oh iya… saya ingat. Tidak disangka, kita bisa bertemu lagi,” kataku basa-basi.

Memang, yang namanya jodoh, nggak akan lari kemana.”

Maksudnya?” tanyaku tak mengerti.

Ah, sudahlah. Lupakan saja. Tadi saya hanya bercanda,” jawabnya santai.

Sebenarnya aku heran dengan orang ini. Kok, dia masih ingat denganku ya? Padahal aku sudah lupa dengannya. Setelah itu, kami ngobrol banyak. Dia mengaku bernama Egi. Dia sudah kuliah semester akhir. Katanya sih, sedang mengerjakan skripsi. Dari obrolan itu, kami menjadi akrab. Bahkan dia menawarkan bantuannya jika aku ada kesulitan dalam masalah kuliah. Namun tiba-tiba…

Dah dulu ya, aku harus cepat pergi. Assalamualaikum.”

Ih, aneh sekali orang ini. Datang tiba-tiba, pergi pun tiba-tiba. Tetap saja kujawab salamnya meskipun dengan agak terpaksa. Tapi, orang ini asyik juga diajak ngobrol.

Aduh, kenapa tadi aku lupa nggak minta nomor hpnya?” ucapku lirih. Eits, para pembaca yang budiman jangan su’udzon dulu. Aku bukan cewek gampangan. Maksudku meminta nomor hapnya kan, kalau aku bituh bantuan jadi tidak repot. Tinggal SMS atau telpon kalau perlu. Tapi kuakui orang ini ganteng juga. Apalagi senyumnya, manis banget. Astaghfirullohal adzim. Cepat-cepat aku beristighfar mengingat-Nya.

Sudah seminggu ini, aku kebingungan mencarinya. Mencari orang yang bernama Egi. Masalahnya, aku lagi butuh bantuannya. Aku ingin pinjam buku darinya. Dia kan seniorku yang sebentar lagi lulus, paling nggak dia punya banyak referensi yang bisa aku gunakan untuk bahan dalam pembuatan makalahku. Aku celingukan mencarinya, di perpustakaan nggak ada, di kantin nggak ada. Jangan salah ya, walaupun namanya Egi, dia orangnya alim lho!!! Tapi,di mana orang aneh itu? Aku sampai letih mencarinya. Aku sandarkan tubuhku yang mulai kelelahan ke kursi yang biasa aku duduki di koridor kampus. Tiba-tiba mataku tak sengaja menangkap sosok yang sedari tadi kucari.

Nah, itu dia!” ucapku girang sambil berlari ke arahnya.

Mas, Mas Egi!” panggilku setelah dekat. Dia pun menoleh.

Oh, kamu. Assalamualaikum!”

Waalaikum salam.” jawabku dengan malu-malu. Seharusnya kan, aku dulu yang ngucapin salam, bukan dia. Memang, sejak pertama kali aku bertemu, kayaknya dia benar-benar seorang muslim yang taat.

Ada apa ya?” pertanyaannya membuyarkan lamunanku. Aku tergagap.

Eh, anu… mau pinjam buku tentang kebudayaan.”

Dia langsung mengambilkan buku yang aku maksud setelah kukatakan judul dan penulisnya. Untung saja, dia sedang membawa buku itu, kalau tidak besok baru bisa kudapatkan buku ini.

Sudah nggak ada lagi kan? Aku mau pergi dulu. Sudah ada janji dengan dosen pembimbingku.”

Oh ya, silakan. Kapan-kapan kita bisa ngobrol kan, Mas? Kalau aku ada yang nggak paham dengan isi buku ini, aku kan bisa nanya ke Mas Egi,” kataku basa-basi, padahal memang ingin ngobrol dengannya.

Kenapa tidak? Insya Alloh bisa. Aku pergi dulu ya… Assalamualaikum!”

Waalaikum salam.”

Senangnya aku, punya teman baru yang pinter, ramah, alim, cakep lagi. Bisa dipastikan hari-hari berikutnya aku lebih sering bertemu dengannya. Tapi, pertemuan kami nggak sengaja lho, cuma KEBETULAN!!! Obrolan kami pun nggak jauh-jauh dari masalah kuliah. Aku nggak berani menanyakan masalah yang bersifat pribadi. Begitu pula sebaliknya, dia juga nggak pernah bertanya macam-macam kepadaku. Pokoknya sekarang aku mulai “ngefans” dengannya. Dia baik, pintar, alim, ramah, dan… tahu sendiri lah.

Fuhhhh…. Akhirnya ujian yang sangat menguras tenaga dan pikiranku selesai juga. Kemarin aku telah menjalani ujian akhir semester. Menurutku sih, nggak terlalu sulit. Kan dibantu sama Mas Egi. He…he…he… Hari ini aku bersiap-siap pulang kampung. Eh salah, tempatku kan kota, jadi pulang kota dong!!!

Sebenarnya akhir-akhir ini ada yang mengganjal pikiranku. Orang misterius yang biasa mengirimiku SMS sepertinya orang dekatku sendiri. Pasalnya, tadi pagi dia SMS lagi. Memang sih sudah biasa, tapi kali ini ada tambahannya. Dia juga mengucapkan “met mudik”. Coba, tahu dari mana orang itu kalau aku mau pulang hari ini. Ini bukan keanehan yang pertama. Waktu aku mau ujian dulu, dia juga mengucapkan selamat belajar. Jangan-jangan orang itu teman sekelasku, tapi siapa? Menurutku nggak ada teman-temanku yang berpotensi jadi penggemar rahasia. Daripada aku pusing-pusing mikirin orang itu, lebih baik aku bersiap-siap menuju kota halamanku.

Senang sekali rasanya bisa kembali berkumpul bersama keluarga. Rasa lelah yang selama ini bersandar di pundakku, hilang begitu saja. Malam ini aku ingin melepas rasa kangen pada keluarga yang sudah aku tinggalkan selama satu semester.

Di depan televisi kami sekeluarga berkumpul. Ayah, Ibu, aku dan Fachri, adik laki-lakiku yang kini duduk di kelas 2 SMA. Kami ngobrol dengan santai tentang kuliah, ujian, pokoknya segala yang menyangkut tentangku selama aku hidup jauh dari mereka. Kumakan pisang goreng yang telah Ibu sediakan untuk kami. Rasanya sudah lama sekali aku tidak makan pisang goreng buatan ibuku. Namun tiba-tiba Ayah mengatakan sesuatu yang membuat aku tersedak. Cepat-cepat kuminum teh hangat yang ada di samping pisang goreng di meja.

Apa Yah, menikah?” tanyaku kaget.

Lho, bukannya dulu kamu sendiri yang meminta Ayah mencarikan pendamping buat kamu?” gantian Ayah yang bertanya.

Iya sih, tapi Bunga kan baru semester dua kemarin.”

Ayah tau, makanya Ayah putuskan agar kalian tunangan dulu. Calon kamu bersedia menunggu kamu sampai kamu lulus. Tapi kalau kamu tidak setuju, Ayah tidak akan memaksa kamu. Ini menyangkut masa depan kamu. Hanya saja Ayah yakin, Insya Alloh, Ayah nggak salah pilih.”

Panjang lebar Ayah menjelaskan tentang orang itu. Orang yang Ayah pilihkan untuk mendampingiku. Aku percaya, Ayah tidak mungkin menjerumuskan putrinya sendiri. Jadi, aku setuju saja. Aku tidak mau melawan orang tuaku, walaupun aku belum pernah melihat orang itu. Aku hanya berharap, aku dapat menjalaninya dengan penuh keihklasan hingga aku bisa mendapatkan kebahagiaan yang hakiki. Tapi aneh, Ayah kok tidak menyebutkan nama orang itu ya? Tau ah.

Malam ini, keluarga calon suamiku akan berkunjung ke rumah. Bukan untuk lamaran, hanya saja mereka ingin mengenalku lebih dekat. Lagipula aku juga penasaran dengan cowok itu. Ayah sangat membanggakannya. Kata adikku sih, orangnya pintar, baik, ramah, alim, cakep lagi. Sejenak aku teringat dengan Mas Egi. Dia kan juga pintar, baik, ramah, alim, dan cakep. Coba kalau yang jadi calonku itu dia... Tapi aku harus mulai melupakan dia karena akan ada seseorang yang akan mendampingiku dan orang itu bukanlah Mas Egi.

Tunggu… tunggu… pasti kalian penasaran dengan orang misterius yang biasa mengirimiku SMS. Tenang saja, sampai tadi pagi dia masih membangunkanku untuk sholat. Hanya saja sekarang kata-katanya sudah tidak aneh lagi.

Tiba-tiba suara mobil terdengar memasuki halaman rumah. Hatiku tak karuan. Senang, bingung, cemas, takut bercampur menjadi satu. Kalau diumpamakan, kaya rujak kali ya… Jantungku berdegup sangat kencang, laksana bom yang siap meledak kapan saja. Kuambil segelas air untuk menenangkanku.

Huh, kok aku jadi nggak karuan gini ya?” tanyaku pada diri sendiri.

Bunga, sini Nak, keluar. Mereka ingin bertemu denganmu,” Ayah memanggilku dari ruang tamu.

Iya Yah…,” jawabku singkat.

Aku keluar menuju ruang tamu sambil membawa beberapa gelas minuman. Kulangkahkan kakiku dengan tenang dan kuucapkan bismillah sebelum akhirnya aku keluar menemui mereka. Aku keluar. Aku tak berani memandang wajah mereka. Aku mengambil possisi duduk di sebelah Ibu tanpa berkata sepatah kata pun.

Lho, katanya kalian sudah saling kenal. Kok diam saja?” kata Ayah memulai pembicaraan. Tapi, justru kata-kata itulah yang membuatku kaget. Kenal? Tahu namanya saja enggak. Aku tetap diam tanpa berani berkata apapun. Keadaan bertambah sunyi ketika Ayah malah mengajak tamunya masuk kecuali pemuda yang duduk di sebelah pojok itu. Kok, aku malah ditinggal berdua dengan dia sih? Aku tetap saja tak berani memandang orang itu. Leherku sampai pegal karena terlalu lama menunduk.

Bunga kok diam terus? Ngomong dong! Katanya ingin ngobrol banyak waktu itu, kok malah sekarang diam?” kata pemuda itu memecah kesunyian. Tapi sepertinya aku mengenali suara itu. Kata-katanya juga nggak asing di telingaku. Aku mencoba untuk memandangnya.

Hah, Mas Egi?!” tanyaku tak percaya.

Iya, kenapa? Kaget?” tanya pemuda itu, yang ternyata adalah Mas Egi. Orang yang selama ini menjadi idolaku.

Dia mulai menjelaskan kejadian yang sebenarnya. Dia bercerita banyak. Dia juga bercerita mengapa ia bisa sampai berbuat sejauh ini tanpa sepengetahuanku. Katanya sih, dia sudah lama mengenal dan suka padaku. Dia mencari informasi tentangku ke teman-temanku. Mulai dari nama lengkap, alamat, latar belakang keluarga, tempat dan tanggal lahir, dan apa saja tentangku. Sampai-sampai dia bercerita tentang sesuatu yang membuat aku kaget mendengarnya.

Hah, jadi yang selama ini kirim SMS membangunkanku untuk sholat ternyata Mas Egi?” tanyaku tak percaya. Dia hanya mengangguk pelan sambil menunjukkan senyum manisnya.

Hilang sudah rasa penasaranku selama ini. Ternyata orang yang akan menjadi calon suamiku ini adalah cowok SMSku yang tak lain adalah idolaku sendiri. Benar-benar pucuk dicinta, ulam pun tiba.

Bagaimana Bunga, kamu mau menikah denganku?” tanyanya yang hanya kujawab dengan senyuman.


~~~∞۝∞~~~


No comments: