Risa Agnesia P
Cinta jarak jauh mungkin saja terjadi pada suatu hubungan yang terpenting saat menjalani cinta jarak jauh adalah sebuah kepercayaan, karena dengan percaya kita bisa buat hati menjadi tenang. Cinta jarak jauh tidak hanya terjadi pada sebuah hubungan pacaran melainkan hubungan suami istri juga bisa. Kenapa hubungan suami istri bisa jarak jauh?, bisa saja karena apabila suami bekerja jauh di luar kota dan istrinya di tinggal di rumah bersama dengan anak-anaknya. Jalan satu-satunya untuk berkomunikasi adalah dengan menggunakan ha, internet, dan mungkin dengan alat komunikasi lainnya yang memungkinkan untuk digunakan.
Tidak hanya kerugian yang kita dapat dengan cinta jarak jauh, akan tetapi keuntungan pun akan diperoleh. Misalkan saja kita bekerja, kita menjadi bisa berkomunikasi dengan pekerjaan. Sedangkan kalau kita sedang kuliah atau masih sekolah, kita bisa konsentrasi kepada studi kita. Walaupun demikian, bukan berarti kita melupakan pasangan kita.
Seperti dalam cerpen karangan Herlino Soleman yang berjudul “Pintu Tertutup Salju” menceritakan tentang ada sebuah keluarga yang mempunyai aparto lebih dari satu dan yang tidak ditempatinya disewakan kepada seorang laki-laki yang bekerja dan sudah mempunyai istri yang berada di kampung keluarga si pemilik aparto tidak karuan karena suaminya suka mabuk dan anaknya tidak pernah pulang ke rumah. Lama-lama istrinya pun merasa muak dengan kelakuan suaminya yang setiap malam mabuk. Dan pada suatu ketika suaminya datang ke aparto yang disewakan kepada laki-laki itu untuk diajaknya minum-minum hingga mabuk, akan tetapi lelaki itu tidak mau dan akhirnya si pemilik aparto minum sendiri sampai mabuk (hal yang selalu dilakukannya tiap malam). Setelah mabuk lelaki itu pulang ke rumah dengan berjalan gotai, istrinya sangat kesal dan diam-diam pergi ke aparto yang disewakan untuk numpang tidur. Memang istri pemilik aparto seakan–akan menawarkan perselingkuhan karena ia sering berkunjung dengan alasan tidak begitu penting, akan tetapi lelaki yang menyewa apartonya selalu ingat kepada istrinya yang berada di kampung menunggu dengan setia sehingga bisa menahan diri untuk berselingkuh.
Dilihat dari segi sastra,mengetahui pasangan kita berselingkuh tidak hanya melihat atau memergoki pasangan kita sedang bermesraan dengan orang lain tetapi bisa juga dengan sikapnya, baik secara langsung maupun secara tidak langsung secara tidak secara langsung misalnya yaitu cara pasangan kita memperlakukan kita tidak sebagaimana mestinya dulu serta tindakannya aneh. Sedangkan secara tidak langsung misalnya dengan melihat gaya bahasa saat SMS an mungkin ada yang biasa diucapkan atau tuliskan tidak dilakukan, bisa juga dengan cara dia memanggil kita telah berubah. Dengan ciri-ciri tersebut kita bisa memanggil kita telah berselingkuh.
Adapun strategi agar hubungan cinta jarak jauh dapat langgeng antara lain yaitu :
Komunikasi
Saling percaya
Saling berkunjung
Punya sebuah komitmen.
Pacaran jarak jauh memang sangat besar godaannya misalnya saja bisa timbul keinginan untuk berselingkuh karena intensitas pertemuan yang kurang dan komunikasi yang tidak lancar. Namun itu tergantung pada masing-masing orang dan kekuatan cinta.
Sigit Hardadi
DAERAH DALAM KHAZANAH SASTRA INDONESIA
Sastra berisi tokoh-tokoh, peristiwa-peristiwa, problema-prolema, dan alur beserta konfliknya. Masing-masing unsur tersebut bisa ada bisa tidak, tidak demikian dengan manusia. Manusia adalah bagian yang tidak bisa dihilangkan dari sastra, hanya manusia dan yang mengacu pada manusia yang menjadikan karya sastra teguh sebagai karya sastra. Maka, di tengah kecenderungan memilih Indonesia atau memilih daerah, sastra tidak akan mendapat apa-apa dari keduanya jika tidak melibatkan unsur terpentingnya yakni hadirnya manusia.
Begitu tiba pada manusia, maka segera problemnya menjadi sama, baik nasional maupun daerah, yakni intensitas dengan kenyataan riil kehidupan yang membentang di depan hidup sastrawan. Kenyataan yang dihadapi pengarang dengan segala permasalahan dan suka dukanya. Jika pengarangnya tinggal di daerah, maka perjumpaan karyanya dengan kenyataan atau permasalahan di daerah, pergulatan habis-habisan sastrawan dengan permasalahan riil di lingkungan merekalah yang akan menghasilkan warna daerah yang kuat.
Seorang sastrawan yang mengangkat problem manusia di suatu daerah pada suatu waktu dengan kekhasan situasinya, dengan segala kecintaan, kesakitan dan daya kritisnya, dengan sendirinya akan mempertanyakan semua definisi final tentang Indonesia dan manusianya. Bahkan, juga akan mempertanyakan ulang semua definisi mengenai daerah bersangkutan.
Dalam sastra Indonesia memang tidak kelewat banyak karya sastra yang mengolah latar suatu daerah dengan solid dan mantap sehingga pembaca seakan-akan dapat merasakan bahwa seluruh karya sastra itu lahir dan tumbuh halaman demi halaman, peristiwa demi peristiwa, dari daerah yang menjadi latarnya. Latar sebagian besar sastra Indonesia cenderung sulit dirujuk dan kerap mengacu pada “Indonesia” berbeda dengan itu, daerah sebagai sebuah latar yang solid dan tak tergantikan.
Hal yang segera terasa dan dekat dihati bukanlah hal-hal raksasa, bukan pula ideologi-ideologi besar, melainkan hal-hal yang dekat dihati dan akrab dalam keseharian mereka khususnya bagi kaum muda. Hal-hal yang dekat itu adalah masalah cinta dan asmara, perjodohan dan sejenisnya. Pada persoalan yang kecil dan serba sehari-hari itulah mereka berhadapan dengan representasi budaya daerah, lokal, tradisional, yakni kawin paksa.
Hal ini terlihat jelas pada novel Siti Nurbaya yang segera merebut hati publik. Novel ini mengambil latar Minangkabau. Seorang lelaki muda, tampan, pintar yang saling mencintai dengan Siti Nurbaya, seorang perempuan muda, cantik, pintar, ternyata tidak dapat menuju mahliga rumah tangga. Semua peluang untuk berbahagia ada pada keduanya. Semua harapan indah yang tumbuh di hati kedua sejoli ini dan secara bersama tumbuh pula di hati para pembaca muda, dikecewaan, tidak lain karena kawin paksa. Datuk Meringgih, leleki tua buruk rupa dan buruk hati yang menghalangi semua harapan kaum muda untuk bahagia. Maka pembaca tidak bisa terima jika pasangan yang sama-sama muda, sama-sama terpelajar, sama-sama rupawan, dan ini yang paling penting sama-sama saling mencintai dipaksa untuk berpisah hanya karena adat membolehkan orangtua bertindak semena-mena. Tumbulah kesadaran di kalangan luas bahwa adat lama daerah memang harus dilawan.
Berbagai novel yang lahir pada masa itu serta berlatarkan daerah tertentu, umumnya mengangkat konfrontasi dengan tradisi. Daerah digambarkan sebagai sumber masalah. Daerah dengan segala adat tradisinya adalah manifestasi kegelapan. Setiap kaum muda terdidik berupaya untuk memerangi atau meninggalkannya Mereka berharap habis gelap terbitlah terang.
Lewat karya sastra yang mengangkat kehidupan manusia dan latar daerah dengan segala permasalahannya kita bisa bertemu dengan hasil-hasil imajinasi dan denyut batin daerah-daerah di Indonesia. Makin banyak karya semacam ini makin ramai pergaulan wacana dalam mengisi sastra Indonesia kita. Bahkan, gerakan menuju otonomi daerah menjadi lebih mungkin dan masuk akal manakala denyut batin manusia-manusia di daerah-daerah bersangkutan serta daerah-daerah lain bisa menghayati segala impian, denyut, hati, kesulitan, permasalahan, kegetiran, kebahagiaan, getar cinta dan segala segi kehidupan batinialah dengan intim dari hati ke hati.
Dengan gelagat ini semua, maka daerah yang kelak bermunculan mengucapkan diri ke tengah Indonesia akan menghasilkan keberagaman budaya atau sebuah multikulturalisme. Indonesia akan menghasilkan berupa kekayaan dan keberagaman manifestasi manusia dari berbagai situasi dan permasalahan. Dengan itu semua perlahan akan tercipta ruang bagi pembaca untuk menikmati keberbagian yang menumbuhkan peluang bagi dialog. Dengan mengangkat bahan langsung dari kehidupan yang dihayati dan dekat di hati sastrawannya, maka kompleksitas permasalahan manusia akan hadir dengan nyata, di mana rumusan tertentu, rumusan necis, final tentang daerah, tidak bisa meyakinkan.
Keperluan terhadap sastra semacam ini menjadi mendesak belakangan ini bersama ramainya gerakan otonomi daerah agar otonomi daerah tidak tumbuh menjadi sebuah gerakan isolasi terhadap daerah yang lebih maju.
Semua ini akan menghadiai Indonesia dengan keberagaman budaya sehingga ruang untuk menghidupi suatu keadaan dan mempertanyakan segala sesuatu menjadi mungkin. Dengan begitu, Indonesia akan menjadi sebuah tempat yang kaya dengan suara-suara di mana setiap suara mendapatkan haknya untuk didengar, untuk dipercakapan, untuk dikritik, untuk didukung dan dimuliakan dalam sehangat-hangat perdebatan. Tanpa ini, kita tak yakin benarkah Indonesia masih diperlukan.
Kita melihat analoginya dengan krisis yang kita alami sekarang ini. sebuah krisis yang terlalu lama bagi bangsa mana pun di dunia. Sebuah krisis ekonomi di ASEAN dimulai dari Thailand perlahan Indonesia kena imbasnya juga. Semua negeri yang terkena krisis telah berdiri tegak kembali. Hanya Indonesia yang tetap setia dengan nasibnya yang hina. Begitu lama, bahkan bagi sebuah bangsa yang sudah hancur lebur nyaris jadi debu seperti Vietnam yang kini berdiri sebagai negara yang lebih bermatabat dibandingkan Indonesia Raya.
Mungkin dengan khasanah daerah terus di angkat dalam khasanah sastra Indonesia bisa membuat bangsa kita tercinta bisa terbangun dari tidur lelapnya dan sedikit demi sedikit bisa memperbaiki nasibnya sehingga mempunyai martabat yang lebih dibanding dengan Negara-negara lainnya dengan kekhasan daerahnya.
Dani Maryati
REALITA SASTRA
DI KAMPUS PROGRAM SARJANA BAHASA DAN SASTRA UNIVESITAS JENDERAL SOEDIRMAN
Tidak ada satu buku pun yang menjelaskan pengertian sastra secara jelas dan sama karena setiap orang mempunyai persepsi berbeda tentang pengertian sastra. Secara umum sastra adalah suatu hasil cipta karya menusia yang mempunyai nilai estetis. Sekarang ini banyak orang memutuskan untuk mengabdi pada dunia seni, baik itu sebagai mata pencaharian maupun hanya sekadar hobi. Banyak orang beranggapan bekerja sebagai seorang sastrawan tidak menghasilkan uang banyak, namun bagi mereka menciptakan karya sastra berfokus pada kepuasan batin, bukan materi.
Seiring kemajuan zaman, keberadaan sastrawan semakin dibutuhkan agar bisa memunculkan ide-ide baru sehingga perkembangan sastra akan lebih baik dan bervariasi. Untuk memenuhi kebutuhan itu, banyak universitas yang membuka jurusan sastra. Diharapkan makin banyaknya jurusan sastra yang dibuka, akan melahirkan lulusan sastra yang berpotensi.
Namun banyak lulusan SMA/sederajat yang ogah-ogahan masuk jurusan sastra, sementara mereka yang sudah menjadi mahasiswa sastra malas mengikuti perkuliahan dengan serius. Hal ini dapat dibuktikan berdasarkan fakta yang ada di kalangan mahasiswa, terutama mahasiswa Sastra di kampus PSBS Universitas Jenderal Soedirman. Mereka malas mengikuti mata kuliah sastra. Lantas mengapa? Ternyata setelah diamati dan sesekali melakukan dialog dengan mahasiswa, mereka merasa bahwa materi kehidupan yang disajikan dalam perkuliahan kurang relevan dengan realita kehidupan yang benar-benar mereka alami saat ini. Mereka enggan diajak bernostalgia, berandai-andai dalam kehidupan Siti Nurbaya, Srintil atau Hanafi. Selain itu mereka bingung dihadapkan pada mata kuliah yang langsung menjurus pada sastra, padahal saat di SMA materi yang mereka dapat dari pelajaran bahasa Indonesia lebih banyak tentang tata bahasa atau linguistik.
Melihat fenomena ini, sebenarnya di mana titik pijaknya dan metode apa yang tepat demi mengakrabkan mahasiswa dengan sastra? Sastra memang cenderung bicara mengenai rasa. Rasa amat erat hubungannya dengan pribadi. Pribadi tak mungkin lepas dari lingkungan sosial. Mata rantai inilah yang tidak memungkinkan mahasiswa selalu bisa dibawa ke dunia Siti Nurbaya dengan tradisi kawin paksanya. Suasana tempo dulu tentunya akan menjenuhkan bagi mahasiswa karena dalam belajar sastra kita harus total masuk ke dalamnya sehingga bisa merasakan makna dari sastra tersebut.
Sering muncul pertanyaan, sastra itu apa? Tulisan yang disebut karya sastra itu bagaimana? Masyarakat berasumsi bahwa semua mahasiswa PSBS Indonesia tahu tentang definisi itu semua, padahal tidak. Mahasiswa sastra Indonesia malah bingung dengan definisi sastra. Mereka seperti mahasiswa baru yang dipaksa masuk PSBS Indonesia karena tidak diterima di fakultas yang mereka inginkan. Pada semester berikutnya, yang merasa jenuh berhenti kuliah atau sekedar datang untuk mengisi absen. Sedangkan mereka yang mengambil keputusan untuk tetap bertahan, harus mempelajari sastra dengan modal otak yang lumayan pas-pasan dan akhirnya mereka hanya mengetahui sastra sebatas teori, tanpa tahu penerapan dalam kehidupan sesungguhnya. Lalu bagaimana nasib sastra di PSBS?.
Salah satu dosen sastra di Unsoed mengatakan, jangan-jangan sebagian dari mahasiswa PSBS Indonesia adalah mahasiswa kesasar. Contohnya saja dari tahun 2003-2005 jumlah mahasiswa mulai berkurang, mereka hanya akan bertahan satu sampai dua semester. Selain itu banyak juga mahasiswa yang geleng-geleng kepala dan pusing ketika menonton pertunjukan teater yang serba absurd atau merasa asing ketika mendengar sajak-sajak atau puisi dibacakan, karena di dalamnya terdapat hal-hal yang tidak biasa mereka lihat. Misalnya dalam pembacaan puisi terkadang diselipkan gesture, yang mana tidak semua orang mengerti maksudnya. Kenyataan semacam inilah yang tanpa sadar telah menciptakan jarak antara mahasiswa dan sastra.
Lalu, bagaimana kelangsungan hidup kampus PSBS Indonesia tercinta, apabila masyarakat di dalamnya tidak mencintai lingkungannya sendiri? Jika hal yang seperti ini terjadi, kampus PSBS Indonesia hanya akan menjadi kampus pajangan atau pelengkap sebagai formalitas adanya Program Sarjana Sastra di UNSOED. .
Sesungguhnya sastra merupakan wujud kehidupan yang akan terus berkembang, karena itulah mempelajari sastra seharusnya berangkat dari upaya menggali secara aktif karya sastra itu. Secara aktif di sini dimaksudkan bahwa seseorang harus terlibat dalam rahasia karya sastra itu, dan bukan berdiri jauh di luarnya. Bertolak dari itu semua kita upayakan membaca buku yang memberi suasana apresiasi sehingga kita bisa sedikit demi sedikit menyukai belajar sastra. Nyawa sastra ada di tangan mahasiswa sastra.
Octaria Putri
Keindahan Bahasa Puisi
Telah kita ketahui bersama, bahwasanya puisi adalah karya sastra yang merupakan ungkapan pikiran-pikiran dan perasaan penyair yang berdasarkan mood atau pengalaman jiwa dan bersifat imajinatif. Bahasa puisi yang indah dan bermakna membuat banyak orang menyenangi dan menyukainya untuk membaca, selain itu juga salah satu cara untuk mengungkapkan suatu perasaan tertentu. Dalam puisi terjadi pengkonsentrasian atau pemadatan segala unsur kekuatan bahasa, dan bahasa yang dipakai dalam puisi bersifat konotatif, hal ini ditandai dengan kata konkret lewat pengimajian, pelambangan, dan pengiasan atau dengan kata lain menggunakan kata konkret dan bahasa figuratif.
Oleh karenanya bahasa yang dipakai dalam puisi tidak seperti bahasa yang dipaakai atau digunakan sehari-hari. Maksudnya, bahwa suatu kata dan bahasa yang dipakai dalam puisi belum tentu bermakna aslinya, oleh karenanya disebut kata kiasan. Dalam penyusunan bahasanya harus dirapikan, diperindah, dan diatur sebaik-baiknya dengan tidak lupa memperhatikan irama dan bunyi.
Dibanding dengan karya sastra yang lain, puisi lebih bersifat konotatif karena bahasanya lebih memiliki banyak kemungkinan makna.
Sebagai contoh dapat kita lihat pada kata-kata dan gaya bahasa yang dipakai serta digunakan oleh penyair-penyair kita dalam puisi, masing-masing mempunyai ciri khas tersendiri. Antara lain penyair-penyair besar kita seperti Chairil Anwar dan Taufiq Ismail. Chairil Anwar sebagai kaum ekspresionis memilih kata-kata khas yang mengesankan sikap ingin mengekspresikan seluruh gelora kalbunya. Ada kata-kata dan ungkapan Chairil yang bersifat abadi dan semua mengenal sebagai ciptaan Chairil Anwar, seperti: sekali berarti sesudah itu mati, hidup hanya menunda kesalahan, berputih tulang, mereguk hidup sepuas-puasnya dalam kepuasan yang sedalam-dalamnya, binatang jalang dan sebagainya. Dapat kita lihat dalam salah satu puisi karya Chairil Anwar yang berjudul Yang Terempas dan Yang Putus.
Kelam dan angin lalu mempesiang diriku
menggigir juga ruang dimana dia yang kuingin
malam tambah merasuk, rimba jadi semati tugu
di Karet, di Karet ( daerahku y.a.d ) sampai juga deru angina
Aku berbenah dalam kamar, dalam diriku jika kau datang
dan aku bissa lagi lepaskan kisah baru padaku
tapi kini hanya tangan yang bergerak lantang
tubuhku diam dan dan sendiri, cerita dan peristiwa berlalu beku
Berbeda dengan Taufiq Ismail yang latar belakang pendidikannya adalah dokter hewan, kata-kata dan bahasa yang digunakan untuk membuat puisi juga mempunyai ciri khas tersendiri, Taufiq Ismail menggunakan kata-kata khas seperti: aritmetik, obsesi, geometri, gerbang, jembatan, lanskrap, mikroskop, kamar obat, perpustakaan, pohon-pohon dan sebagainya. Salah satu contoh puisinya yang berjudul Kemis Pagi
“ Hari ini kita tangkap tangan-tangan kebatilan
Yang selama ini mengenakan seragam kebesaran
Dan menaiki kereta-kereta kencana
Dan menggunakan meterai kerajaan
Dengan suara lantang memperatasnamakan
Kawula dukana yang berpuluh juta “
Tidak lepas dari semua itu, dalam menulis puisi juga harus memperhatikan diksi, pengimajian, kata konkret, bahasa figuratif (majas), versifikasi, dan tata wajah. Diksi sangat penting karena dalam membuat sebuah puisi kita harus cermat dalam memilih kata-kata sebab kata-kata yang ditulis harus dipertimbangkan maknanya, komposisi bunyi dalam rima dan irama, kedudukan kata itu ditengah konteks kata lainnya, dan kedudukan kata dalam keseluruhan puisi itu. Oleh sebab itu, disamping memilih kata yang tepat, penyair juga mempertimbangkan urutan katanya dan kekuatan atau daya magis dari kata-kata tersebut. Kata-kata diberi makna baru dan yang tidak bermakna diberi makna menurut kehendak penyair. Karena begitu pentingnya kata-kata dalam puisi, maka bunyi kata juga dipertimbangkan secara cermat dalam pemilihannya.
Ada hubungan yang erat antara diksi, pengimajian, dan kata konkret. Diksi yang dipilih harus menghasilkan pengimajian dan karena itu kata-kata menjadi konkret seperti kita hayati melalui penglihatan, pendengaran, atau cita rasa. Pengimajian dapat dibatasi dengan pengertian: kata atau susunan kata-kata yang dapat mengungkapkan pengalaman sensoris, seperti penglihatan, pendengaran, dan perasaan.Pengimajian ditandai dengan penggunaan kata yang konkret dan khas.
Untuk membangkitkan imaji (daya bayang) pembaca, maka kata-kata harus diperkonkret. Seperti halnya pengimajian, kata yang diperkonkret ini juga erat hubungannya dengan penggunaan kata kiasan dan lambang. Jika penyair mahir memperkonkret kata-kata, maka pembaca seolah-olah melihat, mendengar, atau merasa apa yang dilukiskan oleh penyair. Dengan demikian pembaca terlibat penuh secara batin ke dalam puisinya.
Bahasa figuratif menyebabkan puisi menjadi memiliki banyak makna atau kaya akan makna. Bahasa figuratif adalah bahasa yang digunakan penyair untuk mengungkapkan sesuatu dengan menggunakan bahasa kiasan atau bermakna lambang. Oleh karenanya bahasa figuratif lebih lebih efektif digunakan untuk menyatakan apa yang dimaksudkan penyair, karena mampu menghasilkan kesenangan imajinatif.
Selain itu bunyi dalam puisi mengandung versifikasi yaitu rima, ritma, dan metrum. Dimana rima adalah pengulangan bunyi, sedangkan ritma merupakan pertentangan bunyi (tinggi/rendah, panjang/pendek, keras/lemah) dan metrum itu sendiri adalah pengulangan tekanan kata yang tetap. Bahasa puisi harus menarik dan indah, oleh karenanya hal-hal tersebut sangat bermanfaat dalam panduan membuat sebuah puisi.
Dalam puisi juga harus mengandung tata wajah atau tipografi, dimana tipografi merupakan pembeda yang penting antara puisi dengan prosa dan drama. Dimana tipografi puisi merupakan baris-baris putus yang tidak membentuk kesatuan sintaksis.
Keindahan kata-kata serta bahasa yang dipakai dalam sebuah puisi tergantung pada daya imajinasi pengarang itu sendiri. Bagaimana pengarang dapat memadukan serta memasukkan kata-kata yang akan digunakan menjadi sebuah larik-larik puisi yang indah dan bermakna.
Dari pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa kata-kata dan bahasa yang dipakai dalam pembuatan sebuah puisi berbeda dengan bahasa yang dipakai sehari-hari. Dimana bahasa puisi itu sendiri mengandung makna konotatif atau kiasan.
KARIKATUR DAN KARIKATA
Bermula dari gambar humor pada dasarnya adalah sebuah agresi. Agresi terhadap situasi, dengan cara menjungkirbalikkan logika. Dia menggelitik syarat geli di pinggang kita. Yang kemudian menyentuh kesadaran kita akan pemahaman apa yang tersirat di dalamnya. Kemudian digabung dengan gambar yang kartunal, ditambah dengan topik masalah yang sedang hidup dalam masyarakat. Jadilah karikatur.
Jika sebuah karikatur adalah suatu bentuk komunikasi secara visual, yang pemahamannya lewat tanda-tanda atau simbol-simbol yang ditampilkan dengan gambar, sedang karikata adalah bentuk karikatur tidak bergambar, melainkan dengan kata-kata. Seperti halnya karikatur yang menjungkirbalikkan logika, karikata ini pun memberikan ungkapan-ungkapan simbolik yang mengundang senyum.
Adalah sebuah kanyataan, bahwa bentuk komunikasi karikatural ini paling disukai masyarakat. Karikatur telah menjadi salah satu menu utama di setiap media massa. Sebagaimana pers yang selain mengemban tugas menyebarkan informasi, begitu pula karikatur. Lewat humor kita tampilkan masalah yang sedang terjadi, yang biasanya lebih ke permukaan sehingga lebih di perhatikan dan dibicarakan serta di renungkan. Karena karikatur adalah komentar terhadap masalah yang sedang hidup dalam masyarakat.
Di zaman ini negara kita sedang dilanda krisis multidimensi berkepanjangan, yang dipenuhi hiruk pikuk KKN di kalangan pejabat; pelanggaran HAM; kekerasan; bermacam-macam bencana yang melanda negara kita. Dengan adanya karikatur dan karikata, mengajak partisipasi masyarakat ikut peduli terhadap keadaan yang semakin berat dan tidak menentu ini. Karena karikatur termasuk bentuk entertainment, maka karikatur juga bisa sebagai ‘Jamu Stres ’ untuk menjernihkan pikiran dan sebagai hiburan.
Dari ribuan karya karikatur dan karikata, disadarkan betapa yang di rasakan oleh masyarakat telah mencekik leher meskipun telah diutarakan dengan canda. Dari karya tersebut tercermin, kita mendapat tempat untuk pelepas uneg-uneg kekecewaan, harapan dan juga cacimaki, serta semata-mata ‘slengekan’.
Lantas apa yang akan dan telah di hasilkan dengan karikatur dan karikata itu? Seperti halnya karikatur,membawa misi control dan perbaikan, apakan telah berhasil mengemban misinya? Korupsi telah ribuan kali di karikaturkan dan hasilnya bagaikan angin lalu yang lewat begitu saja. Apakah humor itu hanya cermin ketidakberdayaan kita menghadapi kekuatan dan kekuasaan? Karena kita sedang menghadapi orang-orang besar yang sedang berpangku tangan, mereka hanya memikirkan urusan mereka masing-masing dan mengabaikan orang kecil seperti kita.
Dengan karikatur kita tidak ingin memberontak dan mengubah pendapat orang lain. Dengan kritik humoristis kita hanya menyampaikan bisikan lewat relung hati supaya menyentuh nurani, bahwa kita belum terlambat. Kita masih bisa memperbaiki keadaan kita. Sedang berhasil atau tidak bukanlah tanggung jawab karikaturis, melainkan tanggung jawab kita.
Kemudian sementara kita berpendapat bahwa kedewasaan kita bisa di ukur sejauh mana kita bisa menertawakan diri kita sendiri. Lantas apa kita sudah dewasa? Dengan berhumor kita dapat menghilangkan stres, yang pasti dengan berhumor akan membuat bumi tetap berputar pada porosnya.
Asmorowati
Identitas Buku
Judul buku: Cinta di Tengah Kengerian Perang
Penerjemah: Landung Simatupang
Jenis buku: Nonfiksi
Jenis kertas: HVS
Ilustrator sampul: Auschwitch
Tebal buku: 116 halaman (isi + cover)
Ukuran buku: 4,5 x 7,3 cm
Tahun terbit: 2003
Penerbit: Gagas Media, Jakarta Pusat
Disadur dari:
Last Letters fr om Stalingrad
New York, USA
Signet Books, The American Library of World Literature Inc., 1965
Sebagai penulis kata pengantar:
Brigadir Jenderal Amerika Serikat, S. L. A. Marshall
- - -
Mendengar Petuah Bapak
Sekumpulan surat yang dijilid menjadi sebuah buku kecil berwarna biru… . “Cinta di Tengah Kengerian Perang”, itulah sekilas judul yang terkesan mendalam, suci, sekaligus menyentuh. Pertama membuka lembaran buku tersebut, rasa tertarik lansung saja melejit. Enggan untuk menutup dan menyudahinya.
Sedikit saya nukilkan ucapan si penyunting buku.
Januari tahun 1943,
Tujuh buah tas berisi surat-surat para tentara Jerman yang diangkut pesawat terbang terakhir meninggalkan Stalingrad, ditahan oleh Komando Tinggi Jerman. Alamat tujuan dan nama pengirim dihilangkan, dan surat-surat itu dianalisis untuk mempelajari moril pasukan di medan laga.
Hasil analisisnya sangatlah memukul regim NAZI kala itu, hingga surat-surat itu dipetieskan dan dikunci rapat dalam arsip angkatan perang Jerman. Yang akan Anda baca ini adalah ‘hanya’ tiga puluh sembilan di antaranya, yakni yang masih terselamatkan sesudah kekalahan NAZI Jerman.
Setiap surat dikirimkan kepada satu orang: isteri, kekasih, orang tua, sahabat, oleh seorang yang mengetahui bahwa itu adalah kata-kata penghabisan yang dapat ditulisnya.
Surat-surat ini seolah ingin memberikan kesaksian yang tak pernah basi tentang kejinya perang serta keberanian dan ketabahan manusia.
Seorang purnawirawan Brigadir Jenderal Amerika Seriakt, S. L. A. Marshall, yang menulis pengantar untuk buku “Last Letters from Stalingrad” terbitan The American of Word Literature (1965) yang memuat terjemahan bahasa Inggris surat-surat tersebut, antara lain mencatat sebagai berikut.
“...Surat-surat ini berkabar kepada kita tentang kejiwaan tentara di medan pertempuran pada saat paling getir. Di tengah kelemahan yang begitu menelan, ada juga terasa kemesraan serta kelembutan.... para penulis surat-surat ini adalah seteru kita. Tetapi siapakah yang sanggup, kini, membaca surat-surat ini dan tidak berkabung, menangisi mereka...?”
(halaman iii-iv)
Memang “Cinta di Tengah Kengerian Perang” belum terlalu populer di tanah air. Meskipun demikian, tak tergoyahkan niat saya untuk menyelidiki secara komperhensif. Sepertinya saya sedikit mengikut dan tertular virus keantusiasan Landung Simatupang dalam mengekstrimkan buku ini. Tak heran beliau menunjuk tiga puluh sembilan surat penghabisan dari Stalingrad untuk dialihbahasakan. Pastilah setiap manusia berjiwa akan terenyuh menikmati goresan tinta yang merupakan tumpahan hati akhir hayat seseorang. Tragis, mengharu biru, atau kadang turut membangkitkan gelora karena isinya yang begitu berani dan pantang menyerah menghadapi maut. Sayangnya, surat-surat berharga tersebut yang lebih berharga daripada gaji setahun seorang serdadu tidak diantarkan ke tangan tujuan. Surat-surat itu digudangkan oleh sang atasan.
Dapat dikatakan buku kecil terjemahan dari “Last Letters from Stalingrad” bukan merupakan karya sastra, melainkan karya sejarah yang sarat nilai sastra . Ia adalah bukti autentik perang dunia kedua antara Jerman berhadapan dengan Rusia dan sekutunya. Pecahnya perang tersebut dikarenakan kepentingan politik sang atasan yang rela mengorbankan berpuluh ribu pasukannya. Serdadu-serdadu diwajibkan untuk siap sedia mengemban tanggung jawab berperang, perang yang berdalih demi kibaran bendera kebangsaan. Oleh karena itu, tak disalahkan jika para serdadu merasa kecewa atas putusan para pemegang politik. Ternyata sang penyusun strategi telah merencanakan kematian mereka. Di kota Stalingrad, para serdadu Jerman terkepung pihak Rusia. Kedinginan, kelaparan, amunisi dan bom rakitan menjadi penyantap maut yang bringas. Keadaan tersebut sebenarnya bisa diredam asalkan ada perjanjian oleh para penguasa.
Umumnya, setiap surat para serdadu berisi tentang kutukan terhadap kekejaman perang. Hanya sebagian saja pribadi yang tetap bersemangat dalam menghadapi ajal, bahkan mereka masih mampu memotivasi keluarga supaya tidak putus asa. Surat penghabisan yang ditulis di tengah-tengah amukan senjata tersebut, telihat begitu romantis, merdu, menyentuh, dengan bahasa yang kongruen juga apik. Tidak kalah jika disandingkan bersama sastra masa kini. Apalagi untuk penggali mental nasionalisme yang semakin pupus, khususnya di Indonesia, akan sangat membantu karya-karya reel semacam ini disemarakkan. Kekuatan sebuah tulisan terbukti mampu memberi pengaruh besar. Satu sampel surat sebagai berikut.
Sepuluh
… Kau saksiku bahwa aku tidak pernah setuju perang ini, sebab aku takut berada di Timur, takut perang pada umumnya. Aku tidak pernah punya jiwa tentara; aku cuma seseorang yang memakai seragam militer. Apa yang kudapat dari ini? Apa pula yang diperoleh orang-orang yang setuju perang dan pantang getar itu? Ya, apa yang kami dapat dari ini? Kami, yang mendapat peran pelengkap penderita, figuran, dalam kegilaan yang menjelma dan menjadi-jadi ini? Hikmah apa yang kita petik dari gugurnya seorang pahlawan? Aku sudah sangat sering melakukan adegan mati di panggung, tapi itu kan cuma akting, sementara kau nonton di kursi depan yang nyaman dan memuji dalam hati bahwa permainanku sunguh otentik, penuh penghayatan. Sekarang aku ngeri menyadari bahwa akting itu ternyata sangat sedikit hubungannya dengan kematian yang sebenarnya. Orang diimbau untuk gugur secara heroik, penuh keteladanan, mengharukan atas dasar keyakinan mendalam demi tujuan agung. Tapi dalam kenyataanya di sini, apalah kematian itu! Di sini orang-orang meraung, mati lapar, mati beku – ajal cuma suatu kenyataan biologis seperti makan dan minum saja. Orang-orang rontok bagaikan lalat; tidak ada yang menguburkan. Tangan atau kakinya hilang, tanpa mata , perut koyak terbuka, mereka rubuh terserak di mana-mana. Mestinya ini dibikin film; akan dihasilkan film tentang ‘Ajal Paling Indah di Dunia’ yang sekaligus miskil. Kematian macam ini pantasnya buat binatang; kelak orang-orang akan memuliakanya dengan patung-patung granit yang memperlihatkan ‘para prajurit dalam sakratul maut’ dengan kepala atau tangan dibebat-bebat.
Puisi, novel dan himne akan digubah dan dinyanyikan. Dan di gereja-gereja, jemaah akan mengikuti kebaktian serta misa. Aku tidak akan ada urusan dengan itu semua, sebab aku tidak sudi membusuk di kuburan masal. Sudah kukatakan hal yang sama ini dalam suratku ke Profesor H. Aku akan menyuratimu dan dia lagi. Jangan kaget kalau datangnya agak lama, karena sudah kuputuskan bahwa nasibku tidak akan kuserahkan ke genggaman orang lain.
( halaman 25-27)
- - -
Landung Simatupang, alumnus Fakultas Sastra Inggris Universitas Gajah Mada, secara terpadu dan sangkil mangkus merangkum tulisan Ingris ke dalam bahasa Indonesia. Nilai seni jelas ia kedepankan menengok latarnya sebagai mahasiswa sastra. Kesalahan tata bahasa seperti ejaan, tanda baca, dan sintaksis yang kerapkali dikritik pun jarang ditemukan dalam karya terjemahannya. Akan tetapi, aspek bahasa “Cinta di Tengah Kengerian Perang” lebih menonjolkan pada unsur komunikatif yang kurang sesuai. Misalnya pengunaan kata cuma dan bikin. Hal tersebut memang dimaksudkan untuk melugaskan dan melancarkan pemahaman terhadap esensi bacaan, ataupun dianggap wajar dan menambah estetis. Namun, tetap saja itu merupakan kesalahan kaidah tata bahasa. Masalah komunikatif kata tidak harus distruktur mengunakan kata-kata nonbaku. Dan banyak kosakata baku yang apabila dimanfaatkan tidak akan merusak nilai estetik suatu karya.
Kembali menelaah hakekat sosialnya, lektur indefaitistis ini juga mendapat sambutan delegasi HAM Indonesia, yakni Munir S. H. Beliau menyisipkan epilog yang bertajuk ”Sisi Jujur dari Perang”. Menurutnya, sulit ditemukan kisah tentang pengakuan jujur kekalahan dan kebodohan mengapa perang harus digelar, kecuali sebuah cerita yang memang dibuat untuk menggambarkan betapa bodoh dan lemahnya lawan yang harus ditaklukkan. Surat-surat penghabisan dari Stalingrad adalah suatu realitas yang berbeda. Unsur-unsur yang paling tidak manusiawi dari perang justru dituturkan sendiri oleh para prajurit di medan pertempuran. Tentu ini jelas merupakan gambaran yang sama sekali berbeda dengan bagaimana para pemimpin di negeri itu memberikan sambutan ketika mengirim para prajurit ke medan perang. Bau busuk mulut para orator politik yang terus-menerus mengobarkan semangat cita-cita bangsanya tidak mampu lagi menutup buruknya derita mereka yang sedang meregang nyawa.
Dalam dua tahun terakhir, di negeri kita juga nyaring terdengar hingar-bingar perang. Dalih nasionalisme dan mempertahankan NKRI menjadi landasan perang digelar -misal di Aceh- dan berbagai operasi militer di berbagai daerah. Perang diyakini bagian dari keunggulan, ketangguhan, kebanggan, ketegasan, adanya sikap atas berbagai persoalan yang dihadapi. Menolak perang, berunding, berkompromi, akan dianggap tidak memiliki kesadaran untuk mempertahankan cita-cita bangsa.
Benarkah perang dan mengirim para prajurit untuk saling berhadapan adalah suatu yang memang layak? Tentu kesadaran dan cerita murni para serdadu dalam ”Cinta di Tengah Kengerian Perang” memberikan informasi lain, bahwa cerita kepahlawanan perang hanyalah sisi palsu dari perang. Pernak-pernik pakaian dan bendera warna-warni yang mengiringi kepergian para prajurit hanya panggung drama. Dengar petuah sang bapak, jangan sampai kita mengulangi penderitaan bapak masa lampau. Indonesia cukup sekali saja mengalami perang. Alasan perang lain dengan Stalingrad, di Indonesia adalah perang merebut kemerdekan, bukan perang merebut ego. Perang masa kini bukanlah perang yang menampilkan kekekaran tubuh, kehebatan senjata, ataupun kemahiran berstrategi. Namun, sekarang adalah saatnya berperang membumihanguskan kebodohan, kemelaratan, kemalasan berusaha, kemunafikan, dan degradasi-degradasi lain yang meyebabkan kemerosotan bangsa. Berperanglah secara positif!
- - -
Dani Maryati
# NYAWA SASTRA DI TANGAN
MAHASISWA SASTRA #
Banyak mahasiswa “ogah-ogahan” masuk jurusan sastra, mereka saja yang mahasiswa sastra malas mengikuti perkuliahan, khususnya pada mata kuliah sastra dengan serius. Hal ini dapat di buktikan berdasarkan fakta yang ada di kalangan mahasiswa malas mengikuti mata kuliah sastra, lantas mengapa? Ternyata selelah diamati dan sesekali melakukan dialog dengan mahasisw, mereka merasa bahwa materi kehidupan yang di sajikan dalam perkuliahan kurang relevan dengan realitakehidupan yang benar-benar mereka alami saat ini, mereka enggan diajak bernoslatgia, berandai-andai dalam kehidupan Siti Nurbaya, srintildan Hanafi. Selai itu mereka juga bingung dihadapkan pada mata kuliah yang langsung menjurus pada sastra, padahal saat di SMA porsi pelajaran yang banyak mereka dapat dari pelajaran bahasa Indonesia adalah tenteng tata bahasa atau linguistik.
Fenomena ini sebenarnya di mana titik pijaknya dan metode apa yang tepat demi mengakrabkan sastra pada mahasiswa?, sedangkan belajar sastra di samping menyajikan pikran nasional juga pikiran rasional, dan juga menajamkan intuisi dan komteplatif. Sastra memang cenderung bicara mengenai rasa, ras amat erat hubungannya dengan pribadi. Pribadi tak mungkin lepas dari lingkungan sosial. Mata rantai inilah yang tidak memungkinkan mahasiswa selalu bisa di bawa ke dunia Siti Nurbaya dengan tradisi kawin paksanya, suasana tempo dulu tentunya akan menjenuhkan bagi mahasisw,karena dalam belajar sastra kita harus total masuk kedalamnya sehingga bisa merasakan maksud dari isi sastra tersebut.
Sastra itu senditi apa?, tulisan yang bisa disebut karya sastra itu bagaimana?. Semua orang berasumsi semua mahasiswa PSBS Indonesia tahu tentang definisi itu semua, ternyata tidak. Mahasiswa sastra Indonesia malah bingung dengan apa itu definisi sastra?. Mereka seperti mahasiswa baru yang dipaksa masuk PSBS Indonesia karena tidak diterima di fakultas yang mereka inginkan. Pada semester berikutnya, yang merasa jenuh berhenti kuliah atau sekedar datang untuk mengisi absen. Sedangkan mereka yang mengambil keputusan untuk tetap bertahan mempelajari sastra dengan modal otak yang lumayan akan bertahan di dalam masyarakat sastra, dan akhirnya mereka hanya mengetahui sastra sebatas teori dan tidak tahu penerapan dalam kehidupan sesungguhnya. Lalu bagaimana nasib sastra di PSBS?.
Menurut salah satu dosen sastra, mengatakan jangan-jangan sebagian dari mahasiswa PSBS Indonesia adalah mahasiswa kesasar, contohnya saj dari tahun 2003-2005 jumlah mahasiswa muliai berkurang, mereka hanya akan bertahan satu sampai dua semester. Selain itu banyak juga mahasiswa yang geleng-geleng kepala dan pusing kepala ketika menonton pertunjukan teater yang serba absurd dan merasa asing ketika mendengar sajak-sajak ataupu puisi di bacakan. Karena didalamnya dilakukan hal-hal yang tidak biasa mereka lihat. Misalnya dalam pembacaan puisi terkadang diselipkan gestur yang tidak semua orang tahu apa mahsudnya. Kenyataan semacam inilah yang tanpa sadar telah menciptakan jarak antara mahasiswa dan sastra. Terus bagaimana kelangsungan hidup kampus PSBS Indonesia yang tercinta, apabila masyarakat didalamnya tidak mencintai lingkungannya sendiri. Kalau hal yang seperti ini terjadi kampus PSBS Inndonesia hanya akan menjadi kampus pajangan atau pelengkap sebagai formalitas adanya Prodi Sastra di UNSOED, kalau tidak bisa melahirkan sarjana-sarjana yang berbobot. Nyawa sastra di tangan mahasiswa sastra PSBS.
Sesungguhnya sastra merupakan wujud kehidupan yang hidup yang akan terus berkembang karena itulah mempelajari sastra seharusnya berangkat dari upaya menggali secara aktif karya sastra itu. Secara aktif disini dimaksudkan bahwa seseorang harus terlibat dalam rahasia karya sastra itu, dan bukan berdiri jauh diluarnya. Bertolak dari itu semua kita upayakan membaca buku yang memberi suasana apresiasi sehingga kita bisa sedikit demi sedikit menyukai atau senang belajar sastra.
Oshie
Menerbitkan Naskah di Internet melalui Blog
Banyak orang yakin bahwa teknologi web akan mempermudah kita menerbitkan sebuah naskah. Orang tidak lagi berbelit-belit kesana kemari mencari koneksi untuk menerbitkan naskah, dan hal ini juga tidak membuat kita tergantung hanya pada perusahaan penerbitan. Bagi siapa saja, asalkan dia senang, berpotensi dan selalu mempunyai keinginan untuk tidak berhenti berkarya, maka dengan mudah bisa menerbitkan sehingga karyanya bisa dinikmati, dibaca oleh seluruh orang di dunia, karena dengan otomatis data bisa dikirim menyeluruh sehingga tersebar dengan cepat.
Namun tidak semudah itu pula orang bisa menerbitkan tulisannya di internet. Tidak cukup hanya bermodalkan kemampuan menulis saja, namun juga dituntut untuk paham mengenai HTML (Hypertext Markup Language) dan juga mengerti tentang cara pengiriman file dokumen naskahnya ke server melalui FTP (File Transfer Protocol). Pada kenyataannya memang tidak semua orang memahami hal-hal semacam itu.
Setelah memahami tata cara pengiriman naskah melalui web, keyakinan orang untuk mulai menerbitkan naskahnya menggunakan web timbul ketika internet dilanda demam blog. Blog atau kadang juga disebut weblog adalah publikasi secara sederhana naskah-naskah yang ditata berdasarkan urutan waktu seperti layaknya sebuah jurnal atau catatan harian. Sebenarnya sebelumnya sudah ada sebuah sistem yang dikenal dengan sistem pengelolaan isi web. Sistem ini biasa dipakai media-media online untuk mempermudah mereka dalam mengelola proses penerbitan berita atau cerita secara online. Sistem ini kemudian lebih disederhanakan lagi sehingga lebih sederhana dan efektif, yaitu menjadi sistem blog.
Siapa saja bisa dengan mudah menuliskan naskah. kemudian menerbitkan naskahnya secara online melalui sistem blog ini. Kita tidak dituntut untuk memahami dan mengolah secara detail mengenai HTML dan juga tidak perlu repot mengirim naskah dengan menggunakan software FTP khusus. Semuanya bisa kita lakukan pada brosur yang biasa kita pakai untuk jalan-jalan di internet.
Di sini keterampilan yang dibutuhkan hanyalah kemampuan untuk mengetik saja. Hal ini tidak terasa sulit bagi siapapun yang sudah menulis dengan media komputer. Selebihnya, yang dibutuhkan hanya keterampilan kita untuk mengolah naskah demi menentukan keberhasilan naskah tersebut. Di sinilah enaknya penggunaan sistem blog. Tidak ada batasan-batasan secara khusus mengenai tema dan gaya tulisan. Bisa dibilang bebas. Menulis tentang catatan harian, cerita pendek, esai, opini atau berita, bukan masalah.
Mengenai menulis berita, hal ini memang identik dengan wartawan. Akan tetapi, berita itu bukan cuma milik wartawan saja. Siapapun bisa dan boleh menulis berita, asalkan memiliki kemauan dan pengetahuan tentang hal tersebut. Sudah cukup dikenal suatu istilah yaitu citizen journalism, jurnalisme yang dilakukan warga negara yang tidak harus berprofesi sebagai wartawan.
Dasar dan tujuan penerbitan lewat blog ini bersifat bebas. Keinginan berkarir menjadi penulis, sekedar untuk untuk menuliskan kejadian dan kegiatan sehari-hari atau untuk berbagai pengetahuan dan informasi, serta alasan lainnya. Kita hanya perlu melakukan tiga langkah untuk membuat blog, yaitu:
Membuat account
Dimulai dengan :
User name pada lajur choose user name. Sebaiknya dipilih user name yang gampang untuk diingat.
Pilih password untuk account kita di lajur enter a password
Masukkan kembali password yang tadi dipilih di lajur retype password.
Pilih nama yang akan muncul disetiap tulisan kita, di lajur display name.
Masukkan alamat e-mail kita dilajur email address.
Cek dilajur acceptance of terms, sebagai tanda persetujuan kita terhadap aturan yang ada dari blogger.
Klik icon continue.
Memberi nama blog
Blog kita harus diberi nama, caranya :
Untuk nama blog, gunakan lajur blog title. Sebaiknya pilih nama yang sesuai dengan isi blog kita dan gampang untuk diingat, baik oleh kita maupun oleh para pembaca nantinya
Pilih alamat yang bagus untuk blog kita dilajur blog adress. Blogger telah menyiapkan alamat yang khas dengan nama belakang blogspot.com. Dianjurkan kembali untuk memilih nama yang mudah diingat para pembaca, agar tidak membuat bingung disaat mereka ingin membaca blog kita.
Tulis ulang teks berukuran besar yang dimunculkan oleh blogger (biasanya berwarna biru) di lajur word verification. Hal ini untuk mencegah kekacauan sistem oleh para penyusup gelap.
Klik icon continue.
Memilih pola desain
Pada langkah terakhir ini kita harus memilih pola desain halaman blog kita. Pilihlah yang cocok dengan selera dan isi blog kita. Bila sudah ditentukan, klik icon continue. Setelah itu blogger kemudian akan membuat blog untuk kita. Bila sudah terdapat tulisan “your blog has been created”, maka blog kita sudah siap.
Dengan penjelasan dan uraian-uraian langkah untuk membuat blog di atas, tentu saja sangat menarik bagi kita untuk dengan mudahnya menerbitkan hasil tulisan tanpa melalui proses-proses yang rumit. Begitu efektif, singkat dan efisien langkah yang ditawarkan. Akan banyak lahir para penulis-penulis baru yang dengan luas, bebas dan mudahnya menyalurkan hasil karyanya. Anda tertarik? Apa salahnya untuk mencoba.
Nur Rahman Sulistomo
POTRET SASTRA INDONESIA
Mungkin tidak akan pernah terbayangkan sebelumnya oleh benak kita jika pada suatu saat nanti komunitas sastra Indonesia PSBS UNSOED ini akan dapat berkembang dengan sangat pesat, atau mungkin akan dapat memperoleh sebuah pengakuan dengan nilai akreditasi terbaik. Memang hal ini bukanlah hanya sebatas omong kosong belaka, namun di sisi lain kita juga harus tetap memperjuangkannya. Adapun salah satu caranya ialah dengan kita sebagai bagian dari komunitas sastra Indonesia ini harus dapat menunjukan eksistensi kita kepada Masyarakat luas, yaitu diantaranya dengan jalan kita harus dapat menunjukan sebuah ciri khas yang semestinya telah kita miliki. Tujuannya ialah agar keberadaan kita pada nantinya akan dapat lebih dikenal atau diketahui oleh masyarakat luas.
Dalam waktu dekat, komunitas sastra Indonesia ini mungkin akan berubah statusnya menjadi sebuah fakultas yang memiliki latar belakang kebudayaan. Oleh karenanya sebuah ciri khas ini akan menjadi sangat penting bagi kita, dimana sebuah ciri khas tersebut akan dapat membantu kita untuk dapat menunjukan jati diri kita kepada masyarakat umum, sehingga nantinya keberadaan kita akan dapat lebih diakui oleh masyarakat.
Adapun sebagai sebuah institusi yang notabene bergerak di bidang kebudayaan, serta tumbuh atas dasar latar belakang kebudayaan yang masih sangat kuat seperti halnya dengan kebudayaan Banyumas, tentunya sastra Indonesia ini memiliki kesempatan yang sangat luas untuk dapat memajukan atau pun ikut serta melestarikan khazanah kebudayaan Banyumas itu sendiri. Diantaranya adalah dengan cara kita sebagai bagian dari komunitas Masyarakat budaya tentunya, sebisa mungkin kita harus dapat memanfaatkan kebudayaan yang ada. Karena bagaimanapun juga kebudayaan itu sendiri tidak lain merupakan lahan bagi kita di dalam menemukan inspirasi-inspirasi ketika kita akan menciptakan sebuah karya sastra ataupun ide kreatif lainya. Bahkan bila perlu, hal ini dapat kita angkat sebagai sebuah ciri khas bagi kita sehingga pada akhirnya kita akan dapat menciptakan sebuah komunitas baru yaitu sebagai sebuah komunitas masyarakat sastra Banyumasan.
Kita tahu bahwa budaya Banyumas tentu tidak lepas dari bahasa cablakanya yang sampai saat ini masih sangat dikenal oleh masyarakat. Karena memang kita tahu bahasa Banyumas itu sendiri memiliki sebuah karakter yang sangat khas yaitu kelugasannya ataupun bersifat apa adanya. Sehingga orang akan dapat dengan mudah menebak dari manakah asal-usul seseorang yang berasal dari Banyumas hanya dengan mengamati cara bertuturnya.
Kita tentu tidak boleh menyia-nyiakan potensi ini, dimana kita sebagai bagian dari sebuah komunitas masyarakat Banyumas tentunya kita harus memiliki rasa bangga terhadap ragam bahasa yang telah kita miliki. Dengan demikian sudah sepantasnya bagi kita untuk dapat benar-benar serius di dalam memanfaatkan kekayaaan budaya yang ada. Bahkan bila perlu, kita sebagai komunitas sastra Indonesia dapat menjadi wadah kebudayaan Banyumas tersebut yang nantinya akan dapat kita jadikan sebagai pusat pengembangan dan juga pembelajaran kebudayaan Banyumas. Jadi, jika ada orang yang ingin mengetahui segala macam tentang seluk-beluk, asal-usul, atau mitos tentang kebudayaan Banyumas maka disinilah tempatnya. Namun ini semua hanya akan terwujud apabila kita serius di dalam mengelola ataupun mengolah segala potensi yang ada.
Pada suatu hari nanti jika kita benar–benar telah menggunakan istilah Sastra Banyumasan sebagai sebuah ciri khas bagi kita, maka diharapkan di samping dapat mendongkrak eksistensi kita sebagai sebuah institusi kebudayaan, tentunya di sisi lain kita juga dapat mengangkat citra kebudayaan Banyumas itu sendiri. Memang hal ini dapat kita akui bersama, bahwasannya tidaklah semudah jika kita membalikan telapak tangan, karena bagaimanapun juga semua ini memerlukan suatu proses yang panjang. Apalagi bagi sebuah program studi baru seperti halnya dengan Sastra Indonesia yang ada di UNSOED ini, jelas memerlukan sebuah proses yang tentunya masih sangat panjang. Oleh karena itu hal ini dapatlah kita jadikan sebagai sebuah langkah awal yang baik bagi kita untuk dapat kita perjuangkan. Diharapkan pada masa yang akan datang kita akan dapat meraih sebuah kesuksesan sebagaimana yang kita harapkan.
Beberapa waktu yang lalu sempat beredar polemik di masyarakat bahwasannya mengapa sebagai sebuah institusi yang bergerak di bidang kebudayaan sastra Indonesia ini tidak mau ataupun belum mau menggunakan ciri khas Banyumasan sebagai sebuah identitas bagi dirinya, padahal jelas-jelas keberadaannya di lingkup wilayah Banyumas. Oleh karena itu wajar saja jika ada sebagian masyarakat yang mengatakan bahwa fenomena ini merupakan suatu hal yang sangat ironis dan bertolak belakang dengan bidang yang sementara ini di kajinya.
Dapat dikatakan sebagai sebuah potret Sastra Indonesia di masa sekarang ini, dimana komunitas sastra Indonesia sebagai sebuah institusi yang belum lama lahir dan notabene bergerak di bidang kebudayaan, ternyata belum sepenuhnya mampu menemukan jati dirinya ataupun identitas dirinya menjadi sebuah komunitas yang didasari oleh kearifan kebudayaan lokal.
Inilah realita sebenarnya yang selama ini kita hadapi dan tinggal bagaimana sikap kita dalam menyikapi fenomena ini. Apakah akan benar-benar serius di dalam memperjuangkannya ataukah hanya akan tinggal diam menghadapi segala permasalahannya? Padahal kita tahu cita-cita awal yang ingin dicapai oleh Program Sarjana Bahasa dan Sastra itu sendiri adalah ingin mengembangkan konsep kebudayaan yang bertemakan pedesaan yang di dalamnya sarat akan nilai-nilai luhur kebudayaan lokal.
Diharapkan pada masa yang akan datang komunitas sastra Indonesia ini mau menerapakan istilah sastra Banyumasan sebagai sebuah identitas bagi dirinya, karena hal ini tidak lain adalah sebagai upaya kita dalam mengaplikasikan sebuah ilmu pengetahuan yang secara langsung dapat kita terapkan ke dalam kebudayaan yang ada di sekeliling kita.
Dengan demikian kita tentu akan dapat lebih menghargai sebuah khazanah kebudayaan Banyumas itu sendiri, karena bagaimanapun kita telah memberikan suatu peranan yang nyata di dalam ikut serta melestarikan kebudayaan itu sendiri. Diharapkan ke depan tidak akan ada lagi polemik-polemik seputar sastra Indonesia yang bermunculan di masyarakat.
Gian Setio R
SASTRA SEBAGAI ALTERNATIF
Sebagian besar mahasiswa sastra pada awalnya tidak ada niat untuk masuk sastra tepatnya program studi sastra. Sastra merupakan alternatif terakhir atau bahkan tidak terlintas di benak mereka untuk masuk sastra. Sedangkan kita sering ketahui Fakultas yang sudah ternama, seperti Ekononmi dan hukum yang banyak di pilih oleh kebanyakan calon mahasiswa baru. Mereka beranggapan Fakultas tersebutlah yang mempunyai kualitas baik untuk masa depannya nanti . Sebenarnya kualitas baik itu,tidak terletak pada Fakultasnya tapi mahasiswanya itu sendiri. Mereka beranggapan masuk sastra, nantinya setelah lulus akan susah mendapatkan pekerjaan.Bagi mereka itu momok yang sangat menakutkan.sudah menghabiskan biaya yang tidak sedikit tetapi setelah menjadi sarjana sulit mendapatkan pekerjaan.
Setelah tidak diterima di Fakultas lain mereka bingung dan sastralah alternatif terakhir Mereka beranggapan disastra perkuliahannya lebih santai, materinya tidak membuat pusing . Fakta berkata lain,sastra ternyata sulit bahkan lebih susah dari yang kita duga.
Entah mau jadi apa nantinya setelah lulus itu merupakan nasalah nantinya.Terpenting bagi mereka saat ini adalah menyelesaikan kuliah secepatnya .tapi bagi yang masih mengharapkan kuial di fakultas lain sastra merupan sebagai batu loncatan saja .batu loncatan di sini maksudnya adalah kuliah di sastra hanya tempat menunggu datangnya pembukaan pendaftaran penerimaan mahasiswa baru. Kemudian untuk apa mereka di sastra ? untuk mengisi kekosongan ,mungkin ada beberapa yang berfikir sastra sebagai tempat bermain bagi merekaApabilaa tiba penerimaan mahasiswa baru ,beberapa mahasiswa sastra mendaftaf ulang dan menggambil fakultas lain.Disini mereka memainkan keberuntungannya.Bilaerima mereka akan mekepas kuliahnya di sastra namun apabla tidak diteria di Fakultas yang di harapkan mereka kan tatap tinggal sebagai mahasiswa sastra.Benar-benar menyedihkan nasib sastra.Seandainya terus-terusan seperti iti bagaimana keberlanngsunan sastra
Apabila kita berfikir lebih jauh, bagaimana mungkin kita dapat tinggal di rumah yang tidak kita kenali. Setelah itu kita dapat melakukan aktifitas di dalamnya. Rumah ibarat sastranya, aktifitas adalah bersastra dan berkarya.tentu penghuninya akan mengalami kesusahan.tapi ketidak betahan itu diharapkan akan hilang, setelah lama tinggal didalamnya mau tidak mau mereka sudah terjun ke sastra maka mereka harus cinta akan sastra.
Membangun rasa cinta pada mahasiswa sastra untuk bersastra. Seperti pada tulisan diatas bahwa mahasiswa pada awalnya tidak ada niat masuk sastra jadi kemungkinan mereka belum ada rasa cinta untuk bersastra ‘Witing Tresno Jalaran Soko Kulino’ ungkapan itu sebagai gambaran atau mungkin lebih tepatnya lagi harapan kita setelah mereka tiap hari bermain dengan sastra dan bergelut dengan teori-teori didalamnya.mereka pada akhirnya diharapkan akan mencintai sastra.karya menulis yang apik juga diharapkan dapat ikut berperan serta membangkitkan keingina untuk bersastra.
Sedikitnya karya sastra yang dihasilkan mahasiswa.bagaimana akan berkarya, membaca teorinya saja mereka merasa enggan.disini kita harus bekerja keras membangkitkan semangat untuk bersastra. Ada beberapa faktor untuk membangkitkan semangat mahasiswa untuk bersastra antara lain; berasal dari niat dirinya sendiri,bangga akan fakultasnya sendiri, serta dukungan dari para dosennya.
Memang bersastra harus dari kesadaran diri sendiri bukan unsur paksaan dari orang lain. Tetapi dalam hal ini dosen dapat memberikan rangsangan-rangsangan dan motivasi dalam bersemangat bersastra, berbentuk pemberian tugas-tugas dan pengarahan kepada mahasiswa. Tentu bagi mahasiswa yang tidak suka akan bersastra, mereka akan merasa berat dan terbebani. Sehingga mereka merasa malas dan tidak bersemangat dalam berkuliah di fakultas sastra.
Mahasiswa gengsi bila ditanya oleh masyarakat “ Kamu Kuliah Dimana dan Ambil Jurusan Apa ? “. Mereka beranggapan kampusnya tidak layak di sebut Kampus, tepatnya mirip bangunan SD saja. Sebelumnya mereka tahunya kampus sastra mirip kampus-kampus laun, seperti hukum dan ekonomi misalnya. Tapi pada kenyataannya kampusnya berbeda dari harapan mereka. Mereka benar-benar ter cengang melihat keadaan kampus
Yah…………….itulah kampus,kita harus bangga dan tunjukan kepada mereka melalui prestasi-prestasi akademiknya.Bagaimana pun kita sudah terjun kedalamnya, maka dari itu kita harus berenang supaya tidak tenggelam dan sampai apa yang kita harapkan yaitu menjadi seorang sarjana yang berkualitas.kemudian bisa menghasilkan product-prodak sastra yang mempunyai nilai estetik tinggi.
No comments:
Post a Comment