Manusia Kabut
Kabut lembut dari puncak baru saja menyelimuti kota malam ini. Bahkan sampai gunung yang menyebabkan kabut tersebut menyelingkupi kota ini, sampai tak lagi tampak – hilang. Aneh betul memang, karena siang tadi tak sedikit saja terlihat mendung. Hujan saja urung rasanya turun di kota ini, mungkin akan turun di kota lain. Johanes yang sejak tadi masih mengikuti langkah kawan-kawannya kini mulai merasakan nyeri yang teramat hebat pada pergelangan kakinya. Memang tak wajar ia, bahkan ia pun tak bisa menyadarinya lagi, atau mungkin ia pura-pura tidak menyadarkan dirinya bahwa ia dan kawan-kawannya baru saja melewati jarak yang cukup jauh. Bahkan mampu meremukan kaki-kaki orang biasa. 20 Km – itu jarak yang mereka tempuh sejak siang tadi. Sampai mereka tidak lagi bisa untuk merasakan bagaimana laparnya perut mereka, karena memang mereka tak akan pernah bisa menelan makanan jika mereka belum mencapai tempat yang mereka tuju.
“Sampai kapan lagi kita akan meneruskan kegilaan ini lagi kawan ?” Johanes baru saja mulai bertanya pada kawannya setelah perjalanan mereka menempuh jarak yang sangat jauh. ”Setengah Kilometer ke depan kita akan segera datang pada tujuan kita. Sudahlah aku tahu kau sangat lelah tapi bukankah festival tinggal tiga hari lagi !! sebaiknya kita pikirkan itu daripada memikirkan jarak yang kita tempuh, ingat ! ini semua demi nama kota kita.” jawab kawannya. Tak lama sejak percakapan itu berlanjut, pimpinan rombongan memutuskan untuk mengistirahatkan rombongannya.
Johanes memang pertama kalinya mengikuti rombongan itu. Hanya sekedar ilmu ala kadarnya yang ingin mereka dapatkan. Keotodidakan dan keortodokan ini memang sudah lama mereka jalani. Mereka memang manusia yang menganggap dirinya adalah seniman jalan – indie, jika mereka sebutkan. Mereka hanya mementingkan kemurnian dalam berkarya tanpa harus tahu secara akademis tentang hal ini. Bagi mereka keakademisan akan membuat mereka takut untuk berkarya dan perjalanan yang mereka tempuh adalah suatu proses yang mereka anggap untuk menggapai sebuah festival kesenian yang mereka bawa, demi mengharumkan nama kotanya. Kehidupan malam untuk mencari bintang versi mereka sudah amat biasa mereka jalani. Dan kebiasaan hidup di tengah malam ini hanya memiliki sebuah asumsi, yakni bahwa malam dapat menimbulkan ekspresi yang lebih baik dan inspirasi mereka akan menjadi lebih murni ketika mereka menghirup udaranya.
Johanes mengeluarkan sebatang rokok dalam kotak yang sejak tadi ia selipkan di dalam saku kantung celananya. Ia mencoba untuk menenangkan kegalauan hatinya dengan menghisap gram demi gram nikotin dalam rokok itu. Baginya nikotin yang ia hisap membuat pikiran dan fisiknya kembali pulih. Menurutnya nikotin bisa menimbulkan inspirasi. Tak berbeda jauh dengan kawan-kawan yang memiliki jenis sepertinya. Tiba-tiba separuh batang saja membuat mulut dan rongga tenggorokannya menjadi kering. Ia berdiri, mencoba merogoh minum dalam ranselnya yang sejak tadi menjadi bekal perjalanannya. Diminumnya seteguk dan duduk lagi. Tak lama dia berdiri lagi dan meregangkan sedikit letak uratnya yang sejak tadi membuat ia gundah karena mempengaruhi pikirannya. Duduk lagi dan mengeluarkan sebatang lagi lalu dihisapnya lagi. Belum saja hisapan rokoknya mencapai hisapan ketiga, pimpinan rombongan memutuskan untuk melanjutkan perjalanan. Kesal rasanya hati Johanes karena belum saja hilang lelah yang ia dapatkan tapi apa mau hendak ia kata, berdiri juga ia dan melanjutkan perjalanannya sambil meneruskan hisapan rokoknya.
“Bukankah kau bilang tadi setengah Kilometer lagi kita akan sampai tujuan? Tapi kenapa sekarang belum juga tampak tanda-tanda tempat kita akan berkunjung? Mana sanggar itu?” Johanes terus saja meletuskan pertanyaan pada kawannya. “Di depan sana akan ada tower komunikasai dan sanggar tidak jauh dari letak tower itu.” Jawab kawannya. Belum saja Johanes akan bertanya lagi, pimpinan rombongan berteriak kepada salah satu rombongan yang lainnya “Hei Bujang sebaiknya coba kau hubungi Bang Koto, bilang padanya kita akan segera sampai” katanya. Lega benar batin Johanes ketika mendengar kata-kata pimpinan rombongan itu. Seketika kelesuan yang sejak tadi ia bopong dan membuatnya merasa tambah lelah itu hilang, berubah menjadi semangat yang menggebu-gebu. Pikirnya sejurus, dia akan segera tiba di sanggar yang dia tuju sejak tadi dan akan beristirahat lalu berkenalan dengan kawan baru baginya, sambil menghilangkan kelelahannya. Setelah perbincangan tersebut, perjalanan pun dilanjutkan dengan perasaan yang sangat riang dan bersemangat.
Menit demi menit berlalu setelah perbincangan yang menimbulkan semangat tadi berlangsung. Johanes dan kawan-kawan rombongan tetap saja belum melihat tanda-tanda adanya sanggar yang mereka tuju. Kelesuan berlangsung lagi, sampai keadaan kembali lagi ke mula. Rasanya hilang sudah semangat Johanes untuk berbincang-bincang dengan kawan-kawan barunya sambil menelan hidangan yang disajikan oleh kawan barunya itu.
Pimpinan rombongan kembali lagi berteriak memerintahkan rombongan untuk beristirahat. “Hei pimpinan, bukankah tadi kau bilang kita akan segera sampai dan kawanku ini bilang kalau perjalanan kita akan ditempuh hanya dengan jarak setengah Kilometer saja? Lalu mengapa kita masih saja belum sampai pada tujuan kita? Ada apa sebenarnya yang terjadi?” Johanes kembali menyerbu dengan pertanyaan yang bertubi-tubi. “Perjalanan kita memang akan kita tempuh dengan setengah Kilometer lagi tapi perjalanan setengah Kilometer itu baru saja akan kita mulai. Oleh karena itulah aku memerintahkan kalian untuk beristirahat” jawab sang pimpinan dengan tegas. Johanes menengok ke arah kawannya dan kawannya tersebut mencoba untuk tersenyum untuk menunjukan rasa bersalahnya atas informasi yang ia sampaikan.
Kesal benar rasanya hati Johanes. Ia baru saja tertipu oleh kawannya sendiri, terlebih dengan kondisinya yang amat lelah. Dikeluarkannya lagi sebatang rokok dalam kotak yang ia sakukan di kantung celananya. Tak lama ia juga mengeluarkan minum yang ia simpan di ransel. Dilihatnya botol minum itu – persediaan minumnya mulai menipis. Dengan rasa kecut karena kejadian itu, dicobanya untuk tetap tabah dan meneguk minumannya itu. Setelah tegukannya itu membuat bekal minumnya benar-benar habis, dihisap lagi rokok yang sejak tadi terselip diantara jari-jemarinya. Dalam benar rupanya hisapan Johanes sampai menyebabkan dadanya terasa penuh dan membuatnya terbatuk kecil. Mungkin jika ia tidak memikirkan nama kotanya yang ia pertaruhkan tidak akan ia melakukan kegilaan ini. Johanes memang berbeda dengan kawan-kawannya dalam rombongan tersebut. Ia lebih dalam keadaan beruntung karena posisi keuangan keluarganya lebih mencukupi. Ia tidak perlu mengamen untuk bisa sampai ke tempat festival seperti yang ia lakukan sekarang. Mungkin jika ia datang sendiri ia akan memilih naik kendaraan umum, setidaknya banyak keuntungan yang akan ia dapatkan. Pertama ia akan lebih cepat sampai daripada kawan-kawannya dan tidak akan merasakan kelelahan seperti yang ia rasakan sekarang. Mungkin karena proses yang menjanjikan kesuksesan itulah yang membuat Johanes merasa rela untuk melakukan kegilaan ini dan ikut dalam rombongan untuk pertama kalinya.
Tak lama perjalanan dilanjutkan kembali. Kali ini semangat yang dikeluarkan oleh Johanes disebabkan oleh keterpaksaan. Mau apa lagi ia. Melanjutkan perjalanan namun membuat kondisi tubuhnya amat letih, atau berhenti dan mulai melupakan pengalamannya berkarya di festival tersebut serta tidak bisa menjadi warga yang membanggakan dan mengharumkan kotanya. Dilematik – itu yang mungkin dirasakan oleh Johanes saat itu. Dan dengan keterpaksaan tersebut, dipacunya kembali rasa semangatnya dan terus membayangkan bahwa ia bersama rombongannya akan mengharumkan nama kota.
Ternyata memang benar perkataan pimpinan rombongan, baru saja mereka berjalan sebentar atap yang menandakan adanya sebuah senggar mulai menyembul di balik pohon besar yang agak menghalangi pandangannya. Senang benar situasi saat itu. Semua rombongan meloncat kegirangan. Mereka tidak mempedulikan persendian kakinya yang terasa sakit. Dengan terjadinya kejadian tersebut, semangat rombongan kembali terpacu. Kali ini semangat yang timbul dalam hati mereka adalah kemurnian dalam batin mereka. Seakan hilang beban batin dan fisiknya, Johanes mencoba untuk berlari ke arah sanggar tersebut. Kelakuan Johanes ini rupanya ditiru oleh kawan-kawannya yang lain. Seraya mengucap kekaguman dan rasa syukur kepada tuhan karena telah memperlihatkan hal yang dapat membuat mereka senang mereka terus berlari tanpa harus mempedulikan betapa sakitnya pergelangan kaki mereka.
Beberapa menit sudah mereka terus berada dalam keadaan senang dan terus bersemangat, beberapa menit pula pikiran mereka tarhalang oleh kecurigaan. Mungkinkah hal ini tidak jauh berbeda dengan sebelumnya, terlebih apa yang dipikirkan Johanes. Ia merasa takut merugi karena telah mengeluarkan rasa semangatnya. Ia takut setelah mereka berpeluh karena berlari akan menimbulkan hal yang sia-sia. Namun memang tuhan sedang berkehendak baik, ternyata atap yang mereka sangka sebagai atap sanggar itu memang benar-benar sanggar yang mereka tuju. Halaman sanggar itu begitu besar. Sejenak rombongan berhenti di halaman tersebut, meyakinkan hati mereka bahwa mereka memang benar-benar telah menginjakan kakinya di sanggar tersebut.
Johanes menjatuhkan diri dan membaringkan tubuhnya pada sebuah kursi busa yang membuatnya nyaman. Semua rombongan pun mulai mengikuti tingkah Johanes bahkan ada yang melucuti tubuhnya dan menyisakan celananya lalu berbaring di lantai. Keadaan ini berlangsung terus selama beberapa menit, dan tiba-tiba saja pikiran Johanes kembali bingung. Ia merasa aneh, sanggar besar tersebut memiliki situasi yang amat lenggang. Kecurigaan ini ternyata juga dirasakan oleh pimpinan rombongan. Tak lama pimpinan rombongan pun bertanya kepada Bujang. “Bujang apa kau sudah benar-benar yakin kalau Bang Koto ada? Sebaiknya kau hubungi lagi dia! Bilang padanya kalau kita sudah sampai di sanggar” tanyanya. “Yakin benar, Bang Koto yang tadi mengangkat teleponku. Baiklah, kalau begitu biar kuhubungi lagi beliau.” jawab Bujang. Tak lama bujang menutup teleponnya dan menunjukan seraut wajah cemas. “Ada apa Bujang?” Johanes mencoba untuk ikut dalam kecemasan itu. “Aneh benar, barusan Bang Koto bertanya, mengapa kita datang ke sanggar? Kupikir omongan itu hanyalah guyonan, tapi mengapa hatiku merasakan bahwa ada yang aneh dengan pertanyaan itu.” jawab Bujang. Johanes mulai menuai rasa kecurigaannya. Ada yang aneh dengan pertanyaan Bang Koto. Untuk apa Bang Koto bertanya seperti itu? Mengapa ia tidak bertanya sejak telepon yang pertama? Kecurigaan mulai merasa terebak dan raut wajah rombongan mulai menunjukan kecemasan yang teramat sangat.
Tak berapa lama setelah kejadian tersebut, tiba-tiba saja ada sosok orang yang berlari menuju posisi rombongan dan tak lama sosok itu menunjukan sejumlah lekuk wajah - Bang Koto. “Hei apa kabar kalian? Ada urusan baik rupanya kalian datang dari jauh ke sanggarku?” tanyanya sambil berlari. “Bang Koto…kami baik sekali dan bagaimana dengan dirimu?” jawab pimpinan rombongan. Sesaat situasi terasa cair dan sangat nyaman di batin. Tampak air muka rombongan mulai menunjukan kebahagiaan. Pimpinan rombongan terus saja memeluk erat tubuh kawan lamanya itu, tapi tak berselang lama, tiba-tiba saja mereka terlibat dalam percakapan serius. “Hei… mengapa pertanyaan tadi keluar dari mulutmu?” tanya pimpinan rombongan. “pertanyaan apa?” jawab Bang Koto. “Tadi kau bilang ada urusan baik rupanya kalian datang jauh ke sanggarku? bukankah memang ada acara baik yang akan kami kunjungi di sini? Bagaimana dengan festival? mengapa tidak ada pembenahan di sanggar ini?” lanjut pimpinan rombongan. Dan perbincangan itu terus saja berlanjut, yang membuat aneh perbincangan itu adalah kenyataan bahwa perbincangan itu menjadi semakin serius dan menemukan jalan buntu. Setelah berselang waktu, percakapan itu berhenti dan menghasilkan sebuah kenyataan. Wajah Pimpinan rombongan seketika menjadi pucat dan tak bisa berkata ketika mendengar kenyataan dari percakapan tadi. Tak lama setelah wajahnya pucat pasi, ia mengumumkan kepada rombongan bahwa festival yang kami tuju ternyata dibatalkan. Bang Koto sudah mencoba untuk menelepon kami sewaktu acara tersebut dibatalkan namun nomor Bujang yang menjadi contact person kami tidak dapat dihubungi karena pada saat itu ada kerusakan jaringan komunikasi sementara pada tower dekat sanggar Bang Koto. Dan akhirnya kabar tersebut baru saja dapat didengar ketika mereka sudah berada di sanggar festival.
Purwokerto, 15 Juli 2007 (00:35)
bayu murdiyanto
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment